Makalah
MENGIDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR DAN KAJIAN DALAM NOVEL SI JAMIN DAN SI
JOHAN
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi
Prosa Fiksi yang diampu oleh dosen :
Drs. Rustam Effendi, M.Pd
Di susun
oleh:
·
Bayu Indrawan
·
Rifky Adi Prayodi
PROGRAM STUDi BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2014
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat
Allah SWT. yang telah memberikan berkah dan karunia-Nya kepada kami sehingga
dapat terselesaikannya tugas mengkaji novel “Si jamin dan si johan” karya
merari siregar. Adapun penulisan resensi ini untuk menyelesaikan salah satu
tugas Apresiasi Prosa Fiksi. kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak khususnya bapak Rustam Effendi, M.Pd, yang menyuruh kami untuk menyusun
makalah ini. kami menyadari sepenuhnya bahwa pembuatan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon perkenaan
para pembaca untuk memberikan saran dan kritik. Harapan saya makalah ini
bermanfaat bagi pembaca khususnya keluarga besar FKIP Universitas Wiralodra
Indramayu Program Study Bahasa dan Sastra Indonesia. Terima kasih.
Indranayu, 31 desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 2
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Identifikasi Masalah 3
1.3 Rumusan
masalah........................................................ 3
1.4 tujuan
makalah............................................................
3
BAB II LANDASAN TEORI 4
2.1 Kajian Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik 4
2.2 Kajian Intertektual 6
2.3 Kajian Dekontruksi 7
BAB III PEMBAHASAN 9
3.1 Sinopsis 9
3.2 Unsur Intrinsik 12
3.3 Unsur
Ekstrinsik........................................................... 19
3.4 Kajian Intertekstual 25
3.5 Kajian Dekontruksi 26
BAB IV PENUTUP 27
4.1 Kesimpulan.................................................................. 27
4.2 Saran 28
DAFTAR PUSTAKA
MENGIDENTIFIKASI
UNSUR-UNSUR dan KAJIAN DALAM NOVEL
SI JAMIN dan SI JOHAN
Identitas Buku
Judul
: Si Jamin dan Si Johan
Jenis
Buku
: Fiksi
Penulis
: Siregar, Merari
Penerbit
: Balai Pustaka, Jakarta
Tahun
Terbit
: 1921 (cetakan pertama)
2004 (cetakan kedua puluh satu)
2004 (cetakan kedua puluh satu)
Cetakan
: 21
Jumlah
Halaman : 102 halaman
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebagaimana kita
ketahui sastra tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Semenjak kita
masih balita, kita telah mengenal yang namanya sastra yaitu berupa
dongeng-dongeng yang diceritakan oleh orang tua ataupun kakak-kakak kita.
Seiring berjalannya waktu sastra pun semakin kita kenal dan tidak hanya berupa
dongeng, melainkan bentuk sastra lainnya seperti puisi, cerpen, novel ataupun
film yang bisa digolongkan pada jenis karya sastra puisi, prosa, dan
drama.Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks naratif atau
wacana naratif. Istilahfiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau
cerita khayalan. Hal itudisebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya
tidak menyarankan kepadakebenaran sejarah.
Fiksi
menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalaminteraksinya dengan diri
sendiri, serta interaksi dengan Tuhan. Fiksi merupakanhasil reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Walaupun khayalan,fiksi merupakan
perenungan. Selain itu fiksi merupakan karya imajinatif yangdilandasi kesadaran
dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni.Fiksi menawarkan
model kehidupan yang ideal bagi pengarang dan meneguhkansosoknya sebagai karya
seni yang berunsur estetik dominan. Disamping itu, pengetahuan akan unsur-unsur
yang membentuk karya sastra pun sangat diperlukan untuk memahami karya sastra
secara menyeluruh. Tanpa pengetahuan akan unsur-unsur yang membangun karya
sastra, pengetahuan kita akan dangkal dan hanya terkaan saja sifatnya, jika
pengetahuan dengan cara demikian, maka maksud dan makna yang disampaikan
pengarang kemungkinan tidak akan tertangkap oleh pembaca. Unsur-unsur karya
sastra tersebut adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Kita sebagai
mahasiswa apalagi jurusan bahasa dan sastra Indonesia tentunya telah banyak
karya sastra yang telah kita baca ataupun kita buat sendiri. Namun dalam
membaca teks karya sastra, kita masih berpandangan satu arah dengan mengikuti
pendapat atau simpulan yang telah dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan
pemaknaan cerita dengan hanya membaca dan mentelaah teks secara umum saja. Kita
pada saat ini telah berada pada masa postmodernisasi, pandangan-pandangan
seperti diatas tidak diinginkan dalam sastra. Pada masa ini kita dituntut untuk
lebih kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncullah metode-metode
pembacaan teks seperti Dekonstruksi dan Intertekstual.
1.2
IDENTIFIKASI MASALAH
v Sesuai
dengan judul makalah ini “identifikasi pengkajian novel Si Jamin dan Si Johan
” terkait dengan pengetahuan kita
terhadap pengapresiasian sastra tentang unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
serta kajian interekstual dan dekontruksi, maka masalahnya dapat di
identifikasikan sebagai berikut :
ü Bagaimana
unsur intrinsik dan ekstrinsik novel tersebut?
ü Bagaimana
kajian inertekstual dan dekontruksi novel tersebut?
1.3 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas
dapat di rumuskan sebagai berikut :
ü Bagaimana
apresiasi tentang unsur Intrinsik dan Ekstrinsik novel Jamin dan Si Johan?
ü Bagaimana
apresiasi tentang kajian intertekstual dan dekontruksi novel Jamin dan Si Johan?
1.4 TUJUAN MAKALAH
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini terdapat 2 tujuan,
tujuan secara umum dan tujuan secara khusus, sebagai berikut :
Tujuan Umum :
a) Mengetahui
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik ;
b) Mengetahui
Kajian Intertekstual;
c) Mengetahui
Kajian Dekontruksi.
Tujuan
Khusus :
a) Memenuhi
tugas mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi;
b) Untuk melatih dalam
menyusun makalah;
c) Untuk mempertanggung
jawabkan tugas yang di berikan.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 KAJIAN UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK
Cerita rekaan
merupakan sebuah totalitas yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas,
cerita rekaan merupakan bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu
dengan yang lainnya secara erat. Unsur pembangun karya fiksi tersebut secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pembagian yang dimaksud
adalah unsur intrinsik yang terdiri dari yang meliputi tema, alur, setting,
penokohan, sudut pandang dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur
yang berada diluar tubuh karya sastra yang meliputi adat istiadat, agama,
politik, situasi zaman, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Dalam pembahasan
kali ini hanya dibicarakan unsur intrinsik karya fiksi.
Unsur intrinsik
prosafiksi terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang,
amanat serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan
gagasannya.
1. Tema
prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta beberapa
temabawahan. Untuk mengetahui tema pokok
pembaca harus banyak menelaah masalah apa yang banyak dibicarakan. Menurut
Stantin dan Kenni, dalam Nurgiyantoro (2005:67) tema merupakan makna yang
terkandung di dalam sebuah cerita sedangkan Brooks an Werren (dalam Tarigan.
1984; 125) menyatakan bahwa tema merupakan dasar atau maksud cerita. Jadi tema
adalah sesuatu yang mendasari sebuah cerita.
2. Alur
adalah urutan peristiwa yang membentuk suatu cerita. Alur merupakan struktur
penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau
gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran).
3. Tokoh dan Penokohan
adalah Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat
cerita dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita.
Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh
bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat adanya penokohan, yaitu cara
kerja pengarang untuk menampilkan tokoh
cerita.
4. Latar
berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar adalah seluruh keterangan mengenai
tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri dari
tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat yang hanya ada dalam
khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula
yang tidak dapat diketahui secara pasti.
5. Sudut pandang
merupakan posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa dalam cerita. Menurut
Abrams (1981:142) dalam Nurgiyantoro (2005:248), sudut pandang (point of view)
merupakan cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita
dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Jadi sudut pandang adalah cara
pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya, yang dapat
dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh cerita
terdiri dari (a) sudut pandang akuan,
(b) sudut pandang diaan, (c) sudut pandang
campuran.
6. Gaya Bahasa,
Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa, pengarang bebas menentukan
akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek, ataupun bahasa asing.
7. Amanat, Melalui amanat pengarang dapat
menyampaikan sesuatu, baik hal yang bersifat positif maupun negatif. Dengan
kata lain, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa
pemecahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita.
Adapun unsur
ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara
tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya. Yang termasuk unsur
ekstrinsik karya sastra antara lain sebagai berikut :
1. Keadaan
subjektivitas pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup.
2. Psikologi
pengarang ( yang mencakup proses kreatifnya )
3. Keadaan
di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial.
4. Pandangan
hidup suatu bangsa dan berbagai karya seni yang lainnya
2.2 KAJIAN INTERTEKSTUAL
Kajian
intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai
bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan
unsur-unsur intrinsic seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya)
bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.
Secara khusus
dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek
tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang
muncul lebih kemudian. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk
memberikan makna secara lebih penuh terhadap
karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya
dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap
jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).
Kajian
intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya.
Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan
tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks
kesastraan yang ditulis sebelumya. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh,
misalnya, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat
telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara.
Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi moderennya, di
masyarakat telah ada berbagai
bentuk puisi lama,
seperti pantun dan
syair, di samping mereka juga berkenalan dengan puisi angkatan 80-an di
negeri Belanda yang telah mentradisi. Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan
kawan-kawan seangkatannya menulis puisi
dan prosa di masyarakat juga telah ada
puisi-puisi modern ala Pujangga baru, berbagai puisi drama, di samping
tentu saja puisi-puisi lama. Demikian pula halnya dengan penulisan prosa, dan
begitu seterusnya, terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya
sastra dengan unsur kesejarahannya. Penulisan suatu karya sastra tak mungkin
dilepaskan dari unsur kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun haruslah
mempertimbangkan unsur kesejarahan itu.
Makna keseluruhan sebuah karya,
biasanya, secara penuh baru dapat
digali dan diungkap
secara tuntas dalam
kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut.
Prinsip
intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu
diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang
lain. masalah intertekstual lebih dari
sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah
karya secara penuh
dalam kontrasnya dengan
karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun
puisi.
2.3 KAJIAN DEKONTRUKSI
Dekonstruksi
adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa
dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut.
Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai
konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak
mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak
(trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Dekonstruksi
termasuk pendekatan sastra yang relatif baru, baik di Eropa maupun di Amerika.
Pelopornya ialah Jacques Derrida (ahli filsafat) dan Paul de Man (ahli sastra).
Keduanya berangkat dari objek yang berbeda, yaitu filsafat dan sastra, tetapi
mereka mempunyai kesimpulan yang hampir sama. Kesimpulannya, bahasa merupakan
unsur yang mendasar dalam kehidupan manusia dan lebih substansial daripada
bidang-bidang kehidupan lainnya. Sebuah teks dalam pandangan dekontruksi akan
selalu menghadirkan banyak makna, sehingga teks tersebut bisa sangat komplek.
Jaringan-jaringan mana dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi
makna. Makna tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati (tetap)
melainkan hidup dan berkembang. Karenanya, deskontruksi membiarkan teks itu
ambigo dan menantang segala kemungkinan (Endraswara 2008:170).
Dalam buku
Nurgiyantoro (2002:59), Abrams berpendapat bahwa model pendekatan dekonstruksi
ini dalam bidang kesastraan khususnya fiksi, dewasa ini terlihat banyak
diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan
pengkajian kesastraan. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara
membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara
implisit) bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang
berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu.
Menurut Endraswara
(2008:170), kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti
bahasa. Kalau struktural lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinan akan
menemui jalan buntu, karena tak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan.
Itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba menghubungkan dengan
teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah yang
dilakukan oleh kaum dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman
sastra. Dalam kaitan ini Roland Barthes (dalam Endaswara, 2008:170) memberikan
tahapan penelitian dekonstruksi sebagai berikut:
1. Mendasarkan
semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan semua unsur
tersebut pada kedudukan yang sama.Setiap unsur di pahami secara terpisah.
Dengan demikian, tidak satu pun yang dianggap tidak penting atau tidak
mempunyai peranan.
2. Unsur-unsur
yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur lainya dalam upaya untuk
mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan
antar semua unsur ( jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain
( jaringan X dan Y ).
Berdasarkan
tahapan tersebut, memang tidak tertutup kemungkinansebuah teks sastra dipahami
berdasarkan teks lain. Teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur,
melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya
sastra adalah kegiatan paradoksal. Maksudnya,pembaca boleh menciptatakan
kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya
mudah dikenal. Hal yang aneh, menyimpang, memgejutkan dalam teks
dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia yang mudah dikenali
(Endaswara, 2008:170).
Pembacaan karya
sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna
sebagaimana halnya yang lazim dilakukan melainkan justru untuk menemukan makna
kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan dekonstruksi bermaksud untuk
melacak unsur-unsur aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, makna
kontradiktif, makna ironi, dalam karya sastra yang dibaca. Unsur atau
bentuk-bentuk dalam karya itu dicari dan dipahami justru dalam arti
kebalikannya. Unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian dipentingkan,
diberi makna, peran, sehingga akan terlihat perannya dalam karya yang
bersangkutan.
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 SINOPSIS
Di tepi Jl. Mangga Besar yang dulunya bernama Prinselaan di Taman
Safari terdapat sebuah rumah yang sedikit tua. Rumah itu tak terurus bagai tak
berpenghuni. Di dalam nya tinggalah seorang wanita bernama Inem dan kedua orang
anak bernama Jamin dan adiknya bernama Johan dan ayah kandungnya. Jamin dan
Johan adalah sepasang kakak beradik, yang ibunya sudah meninggal dunia.
Sehingga mereka tinggal bersama ayah kandungnya, dan ibu tirinya. Mereka
dipekerjakan oleh ibu tirinya, Inem untuk meminta-minta, dan memberikan
hasil dari minta-minta itu untuk kesenangan ibu tirinya, yang merupakan seorang
pecandu. Sore itu Inem ibu tiri Jamin dan Johan menunggui kedatangan
Jamin,bukan karena kuatir tetapi untuk meminta uang dari Jamin meminta-minta.
Karena sebagian uang meminta-mintanya ia belikan nasi untuk ia dan adiknya Inem
pun marah hingga menendang si Jamin. Sebenarnya Inem menyiksa Jamin dan Johan
merupakan hal yang biasa karena memang wanita itu sangat jahat. Untung Jamin
dan Johan adalah anak yang sabar dan penurut. Jamin dan Johan selalu mengingat
perkataan almarhum ibunya untuk selalu di jalan Allah dan saling menjaga sampai
kapan pun. Mereka tidak pernah dendam pada ibu tirinya.. Bertes, ayah Jamin dan
Johan juga suka mabuk hingga kedua anak itu dipukulnya karena tak sadar. Bertes
berasal dari Saparua, Ambon. Ia meninggalkan kota kelahirannya untuk
menjadi serdadu karena ia pikir, ia akan mendapat gaji besar. Waktu itu kedua
orang tuanya tidak merestui tapi ia tidak memperdulikan hingga ia menjadi
serdadu di Aceh. Saat Bertes sakit karena peperangan yang terjadi di Aceh, ia
baru sadar bahwa ia banyak salah pada orang tuanya maka dari itu, ia
bercita-cita kembali ke kampung halaman dan mencari pendamping hidup. Ternyata
orang tuanya telah meninggal. Ia begitu menyesal dan sangat merasa berdosa pada
orang tuanya. Setelah itu ia bertemu dengan Mina dan hidup dengan Mina di
Prinselaan, Taman Sari. Awalnya rumah tangga mereka baik-baik saja apalagi
ketika ia mempunyai 2 orang anak yaitu Jamin dan Johan. Mina adalah seorang
istri yang baik,sabar dan bertanggung jawab, jauh berbeda dengan Inem yang
kejam. Tetapi setelah 5 tahun pernikahannya, Bertes mulai terpengaruh
teman-temannya menjadi pemabuk dan suka bertindak keras. Mina mulai
sakit-sakitan hingga akhirnya ia meninggal dunia. Bertes ternyata juga sering
menyiksa Mina bila sedang mabuk. Setelah Mina meninggal, kemudian menikah
dengan Inem yang tidak berperangkai baik. Sungguh malang nasib Jamin dan Johan, sudah piatu
sengsara pula hidupnya.
Ketika Inem selesai mencandu emosinya tidak dapat dikontrol lagi.
Pagi-pagi ia mengusir Jamin untuk meminta-minta uang sampai mendapat lima puluh sen baru ia
dapat pulang dan diancamnya bila tidak pulang akan membuang adiknya ke sungai
padahal Jamin tidak ingin berpisah dari Johan karena ia sangat sayang pada
Johan dan sebaliknya. Sungguh kejam memang ibu tirinya. Jaminpun segera pergi
untuk mencari uang tetapi sungguh sial hari itu karena sampai malam tak dapat
dikumpulkannya uang lima puluh sen. Dari Pasar Baru, Pasar Ikan sampai Pasar
Senin ia lalui namun tak tercukupi juga hingga malam yang sangat dingin karena
hujan. Kondisi itu membuatnya lemas karena tak satupun makanan yang masuk
kecuali sedikit roti dari temannya serta sedikit air ditambah baju yang kotor
dan compang-camping membuat ia tak kuat lagi untuk berjalan. Tak kuasa lagi ia
berjalan, sampai akhirnya ia tidur di seberang warung obat milik Kong Sui. Pagi
harinya, Kong Sui yang melihat Jamin yang terkapar tak berdaya membawanya ke
rumahnya untuk dia beri makan. Sampai disana Jamin diberi makan, minum, uang
dan baju untuk gantinya kemudian ia menceritakan semua pada Kong Sui dan Fi.
Kong Sui dan Fi sangat kasihan pada Jamin setelah ia mendengar cerita dari
Jamin. Jamin pun sangat berterima kasih pada mereka atas bantuan mereka. Karena
merasa badannya sudah terasa baikan ia pun meminta izin untuk pulang. Di rumah
Bertes pulang dari Café Pasar Senin dengan katakutan karena tadi ada
pertengkaran disana hingga seseorang berlumur darah. Karena waktu itu ia sedang
mabuk jadi ia lupa yang ia lakukan karena ia takut diangkap polisi ia sampai
berpura-pura dan menyuruh istrina bila polisi datang untuk berbohong. Disaat
itulah ia baru sadar bila hidupnya telah rusak. Ia lihat anaknya Johan kemudian
ia memeluknya untuk minta maaf tetapi Jamin tidak ada. Sekarang Bertes ingin
taubat dan ia telah tau keburukannya dan istrinya.
Beberapa saat kemudian dibawa Bertes oleh pihak polisi untuk
diperiksa. Setelah itu Jamin pulang karena ia telah dapat uang yang diinginkan
ibu tirinya. Tetapi saat didepan rumah ia mendengar bahwa ayahnya ditangkap
polisi. Uang itu pun segera diberikan pada ibu tirinya dan memberikan makanan
kepada adiknya dari rumah Kong Sui. Namun baju yang diberikan Kong Sui dan FI
diminta ibunya saat meraba celananya terasa ada cincin didalamnya untunglah
Jamin dapat merayu ibu tirinya namun tak disangka. akhirnya ketahuan juga. Baju
itu akan dijual Inem agar Jamin dapat meminta-minta lagi dan ia juga akan
mendapat uang dari hasil menjual baju itu. Cincin itu adalah cincin Nonya Fi
karena Nyonya Fi lupa mengambil cincin itu saat dipakaikan pada Jamin. Ia pun
merasa bersalah dan berjanji akan mengembalikannya pada Kong Sui da Fi. Suatu
hari Jamin jalan-jalan di jalan Mangga Besar. Ia ingin sekali mengembalikan
cincin itu. Tiba-tiba terdengar ada yang memanggilnya, yaitu Johan. Ternyata,
Johan telah mendapatkan kembali cicin itu. Akan tetapi, ketika mereka akan
sampai di rumah Kong Sui, Jamin tertabrak trem yang ada dibelakangnya karena ia
berusaha menyelamatkan adiknya dan dirinya sendiri, tetapi takdir berkata lain,
dirinya malah tidak selamat. Jamin dibawa orang-orang disekitar menuju rumah
sakit Glodok. Johan tak mengerti apa yang terjadi kerena saat kakaknya
tertabrak ia terpelanting ke samping jalan kemudian ia mengembalikan cincin itu
dan menceritakan semua pada Kong Sui dan Fi. Mereka sangat sedih dan akhirnya
Fi dan Johan pergi bersama ke rumah sakit. Jamin tak berdaya lagi seisi ruangan
menangis karena iba melihat Jamin. Sekarang Johan bisa mengerti benar bagaimana
arti persaudaraan yang sesungguhnya. Akhirnya, Jamin meninggal dunia dengan
tenang. Ia dikuburkan di Mangga Dua. Johanpun sekarang tinggal bersama Kong Sui
dan Fi yang menyayanginya dan dia pun sekarang bersekolah, layakanya anak-anak
yang lain.
3.2 UNSUR INTRINSIK
·
Tema
Novel karya Merari Siregar ini menceritakan tentang dua bersaudara
yaitu Si Jamin dan Si Johan dalam menjalani hidup yang kehidupannya begitu
nista nestapa karena di asuh oleh ibu tirinya setelah sepeninggal ibu
kandungnya. Kisah yang amat sedih tentang anak kecil berusia 9 tahun menjadi
budak kecil yang mengemis lantaran perintah ibu tirinya yang jahat, “jamin,
bawa kemari uang yang ada dikantongmu semuanya! Ayi lekas!...” sesekali ia
tidak mendapatkan uang maka tendang sepak terjang di dapatkannya. (siregar,
2004 : 9).
·
Alur
Alur
yang digunakan dalam novel si jamin dan si johan ini adalah alur maju
(progresif), hal ini terlihat dari cerita yang berurutan dari mulai ayahnya yaitu
Bertes yang menikahi ibu tirinya si Inem, perempuan jahat sekaligus pemadat
setelah sepeninggal Mina ibu kandungnya yang bertanggung jawab. Sampai akhirnya
jamin meninggal akibat tertabrak trem ketika dia hendak mengembalikan cincin
milik Kong Sui yang meletekkan cincin dalam baju yang diberikan untuk Jamin.
Dan Jamin mengatakan sesuatu pada saat penghembusan nafasa terakhirnya. Dia
berkata bahwa Johan jangan pulang kerumah, karena Jamin tidak ingin adiknya di
siksa oleh perempuan jahat yang tak lain ibu tirinya. Dan akhirnya Nyonya Fi
menjalankan amanat terakhirnya, dan akhirnya Johan diasuh oleh Kong Sui dan Fi.
(siregar, 2004 : 9-102)
·
Tokoh
dan Perwatakan
Ø Jamin :
Baik hati, penurut, penyabar, rajin, dan jujur “tetapi apa boleh buat, hatinya
tak hendak mengejar pekerjaan serupa itu. Biar ia terpaksa tinggal diluar
semalam-malaman sekalipun, berhujan dan berangin sampai menggigil dan meskipun
hebat ancaman ibu tirinya, si jamin tidak mau meminta sedekah dengan jalan
berbohong dan curang” (siregar, 2004 : 51).
Ø Johan :
Polos, fikirannya belum terbuka. “si johan karena masih kecil belum dapat
memikirkan nasibnya jauh-jauh. Jika perutnya sudah kenyang dan badannya tak
kedinginan, senanglah hatinya dan ia pun tidur nyenyak” (siregar, 2004 : 14).
Ø Bertes
: Keras kepala, berani, mudah terbawa pergaulan. “selama bertes bekerja
dikutaraja ia amat suka berkawan dengan beberapa orang yang kurang baik
tabiatnya dan suka mabuk. Oleh karena pergaulan itu, perlahan-perlahan bertes
terbawa kedalam jurang yang dalam” (siregar, 2004 : 27).
Ø Inem
: Jahat, berani, seorang wanita yang pecandu obat terlarang. “dengan
tergopoh-gopoh disangkutkanhya kain selendangnya yang basah kuyup itu, lalu
berbaring di tempat tidur. Demikianlan caranya menghisap candu” (siregar, 2004
:33).
Ø Mina
: Baik hati,ramah,bertanggung jawab. “mina pun tidak melupakan kewajiban,
mengurus rumah tangga, memelihara anak-anak dan menghibur suaminya”.(siregar,2004:28).
Ø Fi
: Baik hati.
“tanggalkan pakaianya yang basah itu. Saya hendak pergi mengambil pakaian yang
kering. Baju anak kita, masih ada saya simpan. Barangkali baik sebagai
pengganti kain baju anak yang sudah compang camping itu”.
(siregar,
2004 : 64).
Ø Kong
Sui : Baik hati, mudah dihasut. “ia bimbang mendengarkan
cerita yang baru di dengarnya itu. Sekalian perkataan orang itu di benarkannya,
tetapi cerita si Jamin yang tadi pagi tentu tidak bohong, demikian pikirannya
dalam hati”
(siregar, 2004 : 67).
(siregar, 2004 : 67).
Ø Minah : seorang pembantu.“babu minah yang kebetulan
datang pada waktu itu, disuruhnya menghidupkan api” (siregar, 2004 : 63).
·
Latar
·
Tempat
Ø Rumah :
“di Taman sari, ada sebuah rumah setengah tua, berdinding papan, beratap
genting. Bila diperhatikan dinding rumah itu, catnya tidak tentu wananya lagi
dan halamannya yang sangat kotor” (siregar, 2004 : 9).... “keadaan didalam
rumah itu sangat sederhana” (siregar, 2004 : 10).
Ø Pasar
Senen :”pada sisi jalan trem di Pasar
Senen ada sebuah rumah. Di depannya tergantung sebilah papan yang bertulisan ‘rumah
obat’.” (siregar, 2004 : 57)
Ø Rumah
Sakit :”nyonya fi tak tahu bau obat apa
yang berbau itu, tetapi kepada pegawai-pegawai rumah sakit bau itu adalah suatu
tanda, bahwa si sakit dalam penderitaan hebat” (siregar, 2004 : 95)
Ø kota
jakarta :”kota jakarta masih sepi.
lentera-lentera di tepi jalan besar masih menyala, sekadar menggantikn sinar
matahari, yang belum bangun dari peraduannya.” (siregar, 2004 : 57)
Ø Kutaraja :”setelah tiga tahun ia ia dalam dinas
belajar Gombong, ia dipindahkan ke Kutaraja. Pada waktu itu tanah aceh belum
tunduk semua pada kompeni” (siregar, 2004 : 18).
Ø Pasar
Baru : “sampai di Pasar baru ia
belum berjumpa orang seorang pun jua, tempat ia meminta sedekah” (siregar, 2004
: 38).
Ø Jalan
Mangga Besar : “dapatlah ia hidup
sederhana dengan istrinya dan kedua anaknyan Jamin dan Johan, di jalan mangga
besar itu.” (siregar, 2004 : 28).
·
Waktu
Ø “pukul
12 tengah malam” (siregar, 2004 : 20)
Ø “29
hari bulan Mei tahun 1986” (siregar, 2004 : 20)
Ø “Hari
sudah siang. Dengan langkah panjang-panjang ia berjalan.” (siregar, 2004 : 38).
Ø “matahari
makin lama makin jauh bersembunyi ke sebelah barat. (bertanda senja)”.
(siregar, 2004 : 44).
·
Suasana
Ø Tegar : “meskipun Jamin seorang budak kecil, tetapi
ia telah mengenal Tuhan berkat ajaran ibunya dahulu selagi hidup.” (siregar,
2004 : 39)
Ø Kejam : “setiap hari disuruh mengemis dan harus
memperoleh uang yang maksimal menurut perempuan itu, dan sesekali ia tidak
mendapat uang banyak maka ia akan dipukul dan ditendang sampai ia jatuh
terguling-guling dilantai. Dan setelah demikian anak itu dibiarkan menangis
disudut kamar.” (siregar, 2004 : 10)
Ø Sedih : “amat sakit dan sedih hati si Jamin
mendengar perkataan adiknya yang mengaku telah dipukul oleh ibu tirinya saat ia
minta makan. Tidak dapat ia menahan air mata. Jauh lebih sakit dari kena
pukulan perempuan itu.”
Ø Mengharukan : “adikku johan... jangan adikku susah ...
kita bercerai ... nanti di belakang hari ... kita bertemu lagi. Selamat ...
selamatlah adikku, yang tercinta. Sehabis bicara itu si jamin menarik tangan
adiknya. Berlinang-linanglah air mata dokter serta pegawainya yang melihat
kejadian itu. Nyonya fi tak hent-hentinya lagi menyapu air mata dengan sapu
tangan.”...”sampaikan salamku kepada ayah,. Kata si jamin, dan ia mencium si
johan sekali lagi. Kemudian ia melihat keatas seraya berkata, Allah Yang
Mahakuasa! Hamba serahkan badan dan jiwa hamba kepadaMu. Peliharakanlah hambaMu
dengan rahmatMu....” (siregar, 2004 : 98).
·
Sudut
Pandang Pengarang
Di
sini pengarang sebagai orang ketiga
Pengarang dalam
menceritakan para pelaku meggunakan sudut pandang pengarang sebagai orang
ketiga serba tahu (sudut pandang diaan). Pengarang menyebut para pelaku dengan
menggunakan kata ganti orang ketiga. Pengarang tidak menjadi pelaku dalam
cerita itu. Jadi pengarang berada di luar cerita atau sebagai pengamat yang
meceritakan semua yang dilakukan para tokoh sampai apa yang ada dalam hati
maupun yang dipikirkan para tokoh tersebut.
·
Gaya
Bahasa
Pengarang menggunakan bahasa yang tidak baku supaya masyarakat umum,
khususnya para remaja mudah mengerti dari isi novel ini. Dan mudah untuk di
pahami.
Terdapat bahasa jakarta atau betawi pada dialog ini, “minta
bakonya, mat.... lu engga malu, jaka? Minta-minta aje.” Jawab si Amat “masak
laki-laki segede elu masih minta-minta tembako aje”.
“ah,
elu marah-marah aje, baru kali ini gue minta rokok ude ngomel,” sahut si
Jaka....
Majas atau Gaya
Bahasa yang Terdapat Dalam Novel Si Jamin dan Si Johan.
Ø Majas
Personifikasi : “Suatu hari ketika
matahari hendak masuk keperaduannya, hawa panas nertukar menjadi hawa sejuk, dan angin lemah lembut bertiup sepoi-sepoi.”
(siregar, 2004 : 9).
Ø Majas
Personifikasi : “pohon-pohon kenari
yang besar-besar dan tinggi kanan kiri jalan menggerakkan ranting dan daun-daunnya.” (siregar, 2004 : 9).
Ø Majas
Hiperbola : “Dan tiap-tiap kali
ia membentak, anak itu dipukul dan ditendangnya, sehingga jatuh terguling-terguling ke lantai.” (siregar, 2004 :
10).
Ø Majas
Repetisi : “sekali lagi di dengarkan baik-baik, benarkah perempuan jahat dan
bengis itu telah keluar?” (siregar, 2004 : 11).
Ø Majas Hiperbola :
“hancur luluh hatinya, memikirkan
nasibnya dua beradik.” (siregar, 2004 : 12).
Ø “adiknya, si Johan, lebih elok rupanya,
matanya terang jernih dan mukanya manis.” (siregar, 2004 : 13).
Ø Majas
Hiperbola : “bunyi senapan dan
meriam gemuruh dari benteng, bagai
halilintar membelah bumi bunyinya.” (siregar, 2004 : 20).
Ø Majas
Hiperbola : “luka di dada itu
yang parah, kena tikam rencong aceh yang berbisa.
” (siregar, 2004 : 22).
Ø Majas
Personifikasi : “awan kedukaan menutup paras si mina.” (siregar, 2004 : 28).
Ø Majas
Hiperbola : Bukannya bertes
bertambah baik, melainkan bertambah dalam
juga ia tenggelam kedalam lembah kejahatan. (siregar, 2004 : 29).
Ø Majas
Metafora : “segala pencariannya seperti hujan jatuh di pasir saja, ia
tak ada bekas-bekasnya.” (siregar, 2004 : 31).
Ø Majas
Personifikasi : “cahaya bintang-bintang yang bertaburan sudah
pudar.” (siregar, 2004 : 37).
Ø Majas
Personnifikasi : “burung-burung
meninggalkan sarangnya menyanyi
besahut-sahutan di pohon kenari yang tinggi-tingi dan rimbun.” (siregar,
2004 : 37).
Ø Majas
Personifikasi : “Suaranya merdu dan riang, seolah-olah mengucapkan terimakasih
kepada Tuhan, yang menjadikan alam ini dan memberi rezeki kepada makhlukNya.”
(siregar, 2004 : 37).
Ø Majas
Metafora : “tambahan pula ia
panas tiada terderita lagi, seperti
membakar tekuk dan kepalanya.” (siregar, 2004 : 39).
Ø Majas Metafora :
“burung-burung yang yang mencari mangsa terbang pulang mencari tempat
bermalam.perahu dan sampan nelayan yang datang dari laut yang berlayar menuju
daratan, kelihatan jauh berserak di muka air , seperti burung bersayap putih
tampaknya.” (siregar, 2004 : 44).
Ø Majas
Personifikasi : “Awan hitam diarak dengan angin yang
sangat dingin.” (siregar, 2004 : 54).
Ø Majas
Hiperbola : “sekalipun terpaksa
ia tak pulang semalam-malaman itu, tidur
di tanah beratapkan langit.” (siregar, 2004 : 55).
Ø Majas
Alegori : “ia menangis tersedu-sedu dan
air matanya mengalir melalui pipinya yang pucat dan dingin itu, laksana titik air yang jatuh dari cucuran
atap dengan tidak berkeputusan.”
(siregar, 2004 : 55).
(siregar, 2004 : 55).
Ø Majas
Hiperbola :“siapa tahu! Entah
ia disiksa oleh si inem, iblis betina
itu.” (siregar, 2004 : 56).
Ø Majas
Hiperbola : “langit, yang malam
itu ditutupi awan hitam, menjdi biru dan jernih, menunjukkan kegirangannya.”
Ø Majas
Repetisi : “pandangannya berubah-rubah.” (siregar, 2004 : 56).
Ø Majas
Personifiskasi : “pohon-pohon dan kayu-kayuan yang menundukan
kepalanya, oleh karena dibakar sinar yang panas.” (siregar, 2004 : 58).
Ø Majas
Hiperbola : “kuncup-kuncup bunga
terbuka seolah-olah membukakan diri akan
mengenyam udara yang sedap itu.” (siregar, 2004 : 58).
Ø Majas
Metafora : “umur saya sekarang ibarat matahari yang sudah miring ke barat.”
(siregar, 2004 : 58).
Ø Majas
Hiperbola : “segala perkataan
anak itu sebagai batu yang berat menimpa
dada dan menyesakkan jantungnya.” (siregar, 2004 : 62).
Ø Majas
Hiperbola : “berjalan menuju
Taman Sari dengan langkah yang berat dan tidak berketentuan sebagai kerbau nyang diseret ke tempat
pembantaian.” (siregar, 2004 : 68).
Ø Majas
Hiperbola : “itulah madat, raja yang menghukum diri si inem sebagai
budaknya.” (siregar, 2004 : 70).
Ø Majas
Fabel : “sebab minuman keras itu
mengubah sifatnya lebih dari binatang
buas.” (siregar, 2004 : 70).
Ø Majas
Hiperbola : “setan itu memimpin
dia ke lembah dan jurang yang berduri, ke
dalam neraka dunia.” (siregar, 2004 : 73).
Ø Majas
Hiperbola : “perempuan ini yang
mengaramkan aku di lautan dalam.”
(siregar, 2004 : 77).
Ø Majas
Hiperbola : “pikiran itu yang
menghancurkan hatinya, sebagai
diiris-iris dengan sembilu.” (siregar, 2004 : 78).
Ø Majas
Hiperbola : “matanya bercahaya-cahaya, memikirkan
kesenangan yang diperolehnya.” (siregar, 2004 : 83).
·
Amanat
Persaudaraan yang saling mengasihi adalah hal yang indah dan perlu
dijaga. Hal inilah yang patut kita tiru. Jalani hidup sesuai dengan yang Allah
perintahkan dan apabila kita melakukan salah sebaiknya segera bertaubat karena
pertaubatan yang tulus akan diterima oleh Allah SWT. Bersyukurlah kita yang
tidur dalam kasur yang hangat dan memakai baju bagus dan baru, dan bersyukurlah
kita dengan apa yang kita dapatkan, karena masih banyak orang yang kurang
beruntung dari kita, berterimakasih kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya.
Kita sebagai pembaca
pasti sudah mengerti dengan maksud cerita tersebut. misalnya kita harus tetap
mmengingat Tuhan Yang Mahakuasa dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan
susah hati sekalipun. “setiap malam jika ia hendak tidur mendoalah ia dahulu,
mudah-mudahan Allah melidungi dia dua beradik.” (siregar, 2004 : 40).
Bertaubatlah
sebelum terlambat karena dengan bertaubat niscaya Tuhan nakan menunjukan jalan
yang benar. Dalam cerita ini si bertes yang pemabuk itu merasa menyesal ketika
ia tahu bahwa dirinya telah jauh terlampau kedalam lembah nista. Dan ia
menyadari bahwa kesalahannya itu yang menyebabkan istrinya meninggal dan
menyebabkan kedua anaknya itu menjadi menderita. Maka ia memutuskan untuk
bertaubat. (siregar, 2004 : 76)
3.2 UNSUR EKSTRINSIK
·
Biografi
pengarang
Merari Siregar lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara, 13
Juli 1896. Masa kecil dilalui penulis berdarah Batak ini di kampung halamannya.
OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwanya amat dipengaruhi oleh kehidupan
masyarakat Sipirok. Saat itu, ia kerap menjumpai kepincangan-kepincangan
khususnya mengenai adat, salah satunya kawin paksa.
Setelah beranjak dewasa dan tumbuh menjadi orang terpelajar, Sastrawan
Merari Siregar melihat keadaan sebagian masyarakat yang mempunyai pola berpikir yang sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, ia mulai tergerak untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang dinilainya masih kolot, terutama penduduk Sipirok.
Perubahan itu dilakukannya lewat goresan pena. Azab dan Sengsara menjadi karya tulisnya yang paling tersohor. Prosa berbentuk roman itu muncul saat pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis yang ditandai dengan berdirinya Conunissie Voor Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) di tahun 1908. Komisi itu bertugas menyelenggarakan dan menyebar bacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan ash kepada rakyat dan para pelajar sekolah bumi putera. Yang dimaksud dengan karangan ash adalah cerita-cerita rakyat yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun.
Seiring berjalannya waktu, Sastrawan prosa Indonesia mulai berkembang menjadi lebih modern karena semakin banyaknya pengarang yang 'bergaul' dengan karya sastra barat, terutama Belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Perkembangan itu semakin tampak saat Commissie Voor de VoLfcslectuur berubah nama menjadi Balai Pustaka. Perubahan itu juga disertai penambahan tugas, yaitu melatih para pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru.
Setelah beranjak dewasa dan tumbuh menjadi orang terpelajar, Sastrawan
Merari Siregar melihat keadaan sebagian masyarakat yang mempunyai pola berpikir yang sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, ia mulai tergerak untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang dinilainya masih kolot, terutama penduduk Sipirok.
Perubahan itu dilakukannya lewat goresan pena. Azab dan Sengsara menjadi karya tulisnya yang paling tersohor. Prosa berbentuk roman itu muncul saat pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis yang ditandai dengan berdirinya Conunissie Voor Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) di tahun 1908. Komisi itu bertugas menyelenggarakan dan menyebar bacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan ash kepada rakyat dan para pelajar sekolah bumi putera. Yang dimaksud dengan karangan ash adalah cerita-cerita rakyat yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun.
Seiring berjalannya waktu, Sastrawan prosa Indonesia mulai berkembang menjadi lebih modern karena semakin banyaknya pengarang yang 'bergaul' dengan karya sastra barat, terutama Belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Perkembangan itu semakin tampak saat Commissie Voor de VoLfcslectuur berubah nama menjadi Balai Pustaka. Perubahan itu juga disertai penambahan tugas, yaitu melatih para pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru.
Salah satunya dengan menampilkan
kemandirian pada tokoh-tokoh cerita. Yang dimaksud dengan istilah kemandirian
di sini adalah, para tokoh itu dapat menentukan nasibnya sendiri dan tidak
tergantung pada lingkungan dan ikatan masyarakat. Kemandirian itulah yang
tercermin dalam roman karya Sastrawan. Merari Siregar, Azab dan Sengsara,
dengan tokoh utamanya seorang gadis Batak bernama Mariamin. Kesadaran Mariamin
terlihat ketika ia mengakhiri penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin
paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan tokoh Mariamin ini
dimaksudkan Merari untuk menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat
kawin paksa. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap
teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya
karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.
Dalam roman ini, Merari menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Seperti penuturannya berikut ini yang dikutip dari situs Laman Badan Bahasa, "Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca. Adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur, artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang."
Secara keseluruhan, Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. Selain diwarnai dengan menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, roman ini juga menonjolkan penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.
Selain sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan Smees" buah karya Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk 'Dan Kalangan Rakyat' dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en 'Novel Amsterdam' yang terbit tahun 1879.
Dalam roman ini, Merari menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Seperti penuturannya berikut ini yang dikutip dari situs Laman Badan Bahasa, "Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca. Adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur, artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang."
Secara keseluruhan, Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. Selain diwarnai dengan menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, roman ini juga menonjolkan penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.
Selain sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan Smees" buah karya Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk 'Dan Kalangan Rakyat' dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en 'Novel Amsterdam' yang terbit tahun 1879.
Ide cerita Si Jamin dan Si Johan ialah ajakan untuk menjauhi minuman keras dan candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan kemerosotan bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha pemerintah Hindia Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum Belanda berusaha memberantas pemabukan, mereka masih mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu, misalnya di Glodok, yang merupakan tempat terbuka untuk menjual candu.
Ketika menyadur Si Jamin dan Si Johan, Merari sempat menemui hambatan saat memindahkan suasana Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ukuran kemiskinan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan di Indonesia, begitu pula dengan kehidupan spiritualnya. Orang miskin di Eropa melarikan diri dari penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang yang meminum minuman keras adalah orang kaya. Pria Eropa pergi ke gereja bersama anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi ke masjid tanpa istri dan anak Lihat Daftar Tokoh Perempuan
perempuannya.
Selain Azab dan Sengsara serta Si Jamin dan Si Johan, masih ada beberapa karya Merari lainnya meski tidak semasyur dua karya tadi, karya-karya itu adalah Binasa Karena Gadis Priangan, Cerita Tentang Busuk dan Wanginya Kota Aktor, Seniman
Betawi, serta roman Cinta dan Hawa Nafsu.
Selain dikenal sebagai sastrawan,
dalam kesehariannya ia bekerja sebagai guru. Profesinya sebagai guru sedikit
banyak berpengaruh pada gaya bercerita dan karya sastranya, baik karya asli
maupun saduran. Penggunaan bahasa yang lancar dan rapi, ia tonjolkan dalam
setiap karyanya untuk menarik pembaca. Di samping bahasa yang enak dibaca,
Merari juga memberi nasihat, mengecam ketidakadilan, serta memberi pujian pada
tindakan yang tidak menyalahi aturan ataupun norma yang berlaku dalam
masyarakat.
Merari merintis karirnya sebagai pendidik dengan terlebih dahulu bersekolah di sekolah guru yang dulu dikenal dengan istilah Kweekschool kemudian dilanjutkan ke Oosr en West, 'Timur dan Barat' yang berlokasi di Gunung Sahari, Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1923, pendidikan keguruannya dilanjutkan di sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah organisasi bernama Vereeniging Tot Van Oost En West.
Merari merintis karirnya sebagai pendidik dengan terlebih dahulu bersekolah di sekolah guru yang dulu dikenal dengan istilah Kweekschool kemudian dilanjutkan ke Oosr en West, 'Timur dan Barat' yang berlokasi di Gunung Sahari, Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1923, pendidikan keguruannya dilanjutkan di sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah organisasi bernama Vereeniging Tot Van Oost En West.
Setelah menyelesaikan studinya, Merari mengawali kiprahnya di dunia pendidikan dengan bekerja sebagai guru bantu di Medan. Dari ibukota provinsi Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda Sumatera Utara itu, ia kemudian pindah bekerja di Jakarta, tepatnya di Rumah Sakit CBZ atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah Sakit Mendirikan Indische Partij (1912). Cipto Mangunkusumo. Terakhir, ia bekerja di Opium end Zouregie di daerah Kalianget, Madura, hingga akhir hayatnya.
Sastrawan
Merari Siregar meninggal pada 23 April 1941. Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.
Merari Siregar meninggal pada 23 April 1941. Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.
·
Psikologi
pengarang (yang mencakup proses kreatifnya)
·
Nilai
agama
Ø Hidup
yang berat harus dijalani dengan ikhlas, seperti Jamin yang selalu ikhlas
dengan hidupnya walaupun sedang sulit.”amat
sakit dan sedih hatinya mendengar cerita adiknya . tidak
dapat menahan air matanya hancur luluh hatinya memikirkan nasib dua
beradik”. (siregar, 2004 : 12).
Ø sabar,
timbul pikiran dan berkata ia dalam hati, “kata orang, allah amat pengasih dan
penyayang kepada segala makhluk di dunia .baiklah kemalangan ini kuserahkan
saja kepadanya” (siregar, 2004 : 12).
Ø Kita
tidak boleh egois memikirkan nasib sendiri, tapi harus memikirkan nasib orang
di sekitar kita, terutama keluarga, seperti Jamin yang selalu menjaga adiknya.
Ø Kita
harus berbuat sesuatu sebelum akhirnya terjadi penyesalan di kemudian hari,
seperti Bertes yang menyesal setelah anaknya meninggal.
Ø ingat
kepada allah, “jamin, kalau emak sudah tidak ada jangan engkau lupa
kedapa allah, baik-baiklah perangaimu..kelak di hari kemudian kita bertemu di
negeri akhirat”.
Ø tobat,
“Bertes pergi ke rumah Kong Sui,meminta maaf pada si Johan dan berterima kasih
pada Kong Sui dan istrinya”. (siregar, 2004 : 102).
·
Nilai
moral
Ø Kekasaran
yang terlihat dalam novel ini, dan tiap-tiap kali anak itu membentak ,anak itu
di pukuli dan di tendangnya sehingga terjatuh dan terguling-guling ke lantai. “
sudah kubilang lebih dahulu engkau bawa kerumah semua uang yang kau peroleh
ingat, ya! Jangan lupa-lupa lagi!mengerti,,???” (siregar, 2004 : 10).
Ø ketika
anak itu menangis ia membeliakkan mata, sambil berkata “tutup mulut!... kalau
tidak ..” ia memutuskan perkataanya sambil mengacungkan tongkat pemukul.( siregar,
2004 : 10).
Ø jujur,
Cincin itu adalah cincin Nonya Fi karena Nyonya Fi lupa mengambil cincin itu
saat dipakaikan pada Jamin. Ia pun merasa bersalah dan berjanji akan
mengembalikannya pada Kong Sui da Fi. Suatu hari Jamin jalan-jalan di jalan
Mangga Besar. Ia ingin sekali mengembalikan cincin itu. (siregar, 2004 : 83).
Ø Persaudaraan
yang saling mengasihi adalah hal yang indah dan perlu dijaga. “ sayangilah adik
mu, jangan sekali-sekali engkau tinggalkan dia” (siregar, 2004 : 44).
Ø Berkelakuan
buruk “ tempat penjualan candu” dengan tidak ragu-ragu perempuan itu berkata
kepada seseorang yang duduk di tempat itu , “ kasih candu empat hun!”orang itu
terkejut, karena tak menyangka masih ada orang hendak membeli candu. (siregar,
2004 : 15).
Ø Pemaksaan,”esok
paginya, saat jamin kembali disuruh meminta-minta menelusuri lorong-lorong
jalan pagi hingga malam hari” (siregar, 2004 : 36).
·
Nilai
social budaya
Dalam novel ini banyak sekali nila social budaya terlihat dari
kutipan berikut ini
Ø Kesederhanaan
yang terlihat,“sebuah rumah setengah tua berdindingkan papan beratap genting
bila di perhatikan rumah itu, catnya tidak tentu warnanya lagi dan halamnya
yang sangat kotor, menandakan bahwa yang mendiaminya orang miskin”. (siregar,
2004 : 9).
Ø Keadaan
di rumah itu sangat sederhana, “di tengah-tengah kamar depan terletak sebuah
peti besar untuk mengganti meja belajar, dekat jendela pada dinding
sebelah depan ada sebuah meja yang kakinya tinggal 3. Meja itu dirapatkan
ke dinding supaya jangan jatuh, memanjang dinding yang sebelah lagi, terletak
dua buah tempat tidur kayu, di alasi tikar yang sudah koyak-koyak”. (siregar,
2004 : 10).
Ø “Di
dekat dinding sebelah belakang terletak ember tiga empat buah berisi air kotor
bekas pencuci piring di sebelah ada lagi sebuah bantal amat kotor . sebuah sapu
lidi dan sapu ijuk tersandar di sisi tempat tidur itu”. (siregar, 2004 : 11).
Ø “Nyamuk
pun banyak, karena itu orang hampir tak dapat tidur kalau tak pakai kelambu,
pendeknya kelambu-kelambu itu perlu untuk tiap-tiap rumah”. (siregar, 2004 :
11).
·
Nilai
pendidikan
Ø Sekolah
“ setelah kakaknya meninggal si johan pun tinggal bersama kong fu karena mereka
tak punya anak, lalu mereka menyekolahkan si johan, dan kehidupan si johan
berubah teratur”. (siregar, 2004 : 102).
·
Nilai
politik
Dalam
novel ini terdapat nilai pendidikan yang lebih di utamakan karena pesan yang di
sampaikan terlihat jelas dengan adanya kutipan yang saya ambil berikut ini:
Ø Pembunuhan
” ketika bapak si jamin dan bapak si johan membunuh orang sedang mabuk, dan
bapak anak itu di cari-cari polisi dan masuk penjara” (siregar, 2004 : 78).
Ø Saat
Bertes sakit karena peperangan di Aceh ia baru sadar bahwa ia banyak salah pada
orang tuanya maka ia bercita-cita kembali kekampung halaman dan mencari
pendamping hidup. (siregar, 2004 : 26).
3.3 KAJIAN
INTERTEKSTUAL
Selain
Azab dan Sengsara, yg merupakan salah satu tonggak kesusastraan indonesia, ia
juga menulis cerita Si Jamin dan Si Johan. Judul Si Jamin dan Si Johan yang
diambil dan gubahan Justus van Maurik yang berjudul “Jan Smees’. Judul “Jan
Smees” ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift
het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel
Amsterdam’ yang terbit tahun 1879. demikian dinyatakan oleh Teeuw walaupun
sebelumnya ía menyatakan bahwa cerita “Jan Smees” ini berasal dan cerita Oliver
West gubahan Char les Dickens. Pengamat lain, seperti Armijn Pane pun
menyatakan bahwa karya Si Jamin dan Si Johan berasal dari karya sastra Belanda
tersebut.
3.4 KAJIAN DEKONTRUKSI
Ada satu kajian sastra yang dianggap pembalikan dari kajian-kajian
sebelumnya, terutama sekali kajian struktural, yaitu dekonstruksi. Kajian ini
meruntuhkan filosofi yang melandasinya, atau beroposisi secara hierarkis
terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi
bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam suatu teks yang memproduksi
dasar argumen yang merupakan konsep utama. Dekonstruksi terhadap suatu teks
kesastraan, menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang
bersangkutan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah karya.
Contoh asumsi ini pada novel Si
jamin dan Si Johan. Sudah menjadi rahasia umum pada sebagai apresian novel
tersebut bahwa Si Jamin dianggap sebagai tokoh yang disayang dan dikasihani
karena kehidupannya yang amat menyedihkan karena ia di jadikan budak kecil oleh
ibu tirinya yang kejam itu. Sementara itu, Bertes, pemabuk, adalah tokoh yang
tidak dikasihani dan disayang pembaca karena sebagai orang tua yang tidak
bertanggung jawab, acuh tak acuh ia melihat kedua anaknya yang meringkik
kesedihan. Begitu pula dengan Inem, yaitu tokoh yang di benci oleh pembaca dalam Novel, karena sosok ini dengan kejinya
menyuruh anak yang masih balita untuk meminta-minta.
Akan tetapi, kajian dekonstruksi melihat dengan kacamata lain. Bertes layak mendapat asumsi umum, yakni disayang atau dikasihani oleh pembaca,
karena sebagai orang tua yang dahulu ia lupa dengan amanat istrinya
sewaktu istrinya belum meninggal, yaitu menjaga kedua anaknya, Jamin dan Johan.
kini berubah baik saat ia telah menyadari bahwa ia telah menyesal. Dan karena
Inem pula kehidupan anak-anaknya menjadi hancur, maka dari itu Bertes membenci
Inem dan mulai menyayangi kedua anaknya. Namun tak disangka Bertes di tahan
akibat kasus pembunuhan. Dan Jamin meninggal ketika Bertes belum sempat mengucapkan maaf kepada Jamin. Ia memutuskan
untuk berubah.
“Marah,
takut, sedih dan malu menyiksa jiwanya, sehingga si bertes menjadi lemah lesu.
Marah melihat kelakuan istrinya. Takut memikirkan akibat perkelahian tadi malam
itu. Menyesal mengenangkan perbuatannya selama ini. Istrinya yang dulu
meninggal dunia, karena dia juga. Sedih hatinya mengenangkan azab yang di
derita anak-anaknya. Dan malu memikirkan segala kesalahannya. Si bertes sadar,
bahwa dari dia sendirilah asal segala bencana yang telah menimpa rumah
tangganya.”... “kini bertukarlah pikirannya yang buruk, yang selama ini
bersarang didalam dadanya, dengan pikiran yang baik.” (siregar, 2004 : 76).
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Persaudaraan yang saling mengasihi adalah hal yang indah dan perlu
dijaga. Hal inilah yang patut kita tiru. Dan apabila kita melakukan salah
sebaiknya segera bertaubat karena pertaubatan yang tulus akan diterima oleh
Allah. Cerita ini mengisahkan dua orang anak manusia yang hidupnya sangat menyedihkan
setelah di tinggal oleh ibunya yang telah meninggal dunia, dengan kondisi yang
terpaksa dia menjalani jehidupannya sekarang ini. Ayah yang sepertinya tak
punya tanggung jawab hanya bisa mabuk-mabukan saja, dan ibu tiri yang sangat
kasar terhadap mereka menambah kesengsaraan yang teramat mendalam, di kesunyian
malam hanya terdengar suara angin bertiup dan suara rintihan dari bocah kecil
taak berdosa. Sepanjang hari kerjaannya hanya meminta belas kasihan dari orang
sepanjang jalan terotoar. Buku ini menceritakan tentang 2 orang kakak
beradik yang bernama Si Jamin dan Si Johan. Mereka adalah anak piatu yang
terdampar dalam kehidupan yang sengsara, penuh cobaan, dan liku-liku masalah
hidup. Penderitaan mereka dilengkapi dengan seorang Ibu tiri yang kejam.
Sedangkan Bapaknya adalah seorang pemabuk yang pada akhirnya akan menyadari
segala kesalahannya. Kisah ini berakhir dengan kisah tragis yakni dengan
matinya si Jamin sang kakak oleh karena sebuah kecelakaan, sementara
Johan sendiri akhirnya dapat hidup dengan selamat setelah mendapat pertolongan
dan bantuan dari seseorang
Buku ini sangat baik dibaca karena mempunyai pesan-pesan yang harus
direnungkan dan dilakukan. Tidak perlu panjang lebar terhadap buku yang cocok
bagi khalayak umum ini, karena buku ini jelas berguna bagi kita semua. Si Jamin
dan Si Johan cukup kompleks dan memerlukan penegasan pada bagian-bagian
tertentu.
Cerita Si Jamin dan Si Johan ini bisa dibaca oleh semua kalangan
umur karena mengandung nasihat-nasihat yang berguna dalam kehidupan. Terutama
bagi para remaja sekarang ini yang cenderung mengikuti
gaya hidup konsumtif, buku ini sangat cocok karena akan penderitaan dan
kesulitan-kesulitan orang-orang yang kekurangan. Demikianlah makalah ini saya
buat, semoga dapat bermanfaat bagi orang yang membutuhkan.
4.2
SARAN
Kita
sebagai mahasiswa apalagi jurusan bahasa dan sastra Indonesia tentunya telah
banyak karya sastra yang telah kita baca ataupun kita buat sendiri. Namun dalam
membaca teks karya sastra, kita masih berpandangan satu arah dengan mengikuti
pendapat atau simpulan yang telah dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan
pemaknaan cerita dengan hanya membaca dan mentelaah teks secara umum saja. Kita
pada saat ini telah berada pada masa postmodernisasi, pandangan-pandangan
seperti diatas tidak diinginkan dalam sastra. Pada masa ini kita dituntut untuk
lebih kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncullah metode-metode
pembacaan teks seperti Dekonstruksi dan Intertekstual tidak hanya memahami
karya sastra melalui pengkajian unsur-unsur yang intrinsik dan ekstrinsik saja.
Daftar Pustaka
Siregar,
merari. (1896-1940) Si Jamin dan Si Johan. Jakarta: Balai Pustaka.
Web [online ] :
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2270-pelopor-prosa-indonesia-modern
Aminuddin.
2013. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
No comments:
Post a Comment