Monday, 15 June 2015

Makalah Analisis Novel Si Jamin dan Si Johan karya Merari Sirregar



Makalah
MENGIDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR DAN KAJIAN DALAM NOVEL SI JAMIN DAN SI JOHAN
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi yang diampu oleh dosen :
Drs. Rustam Effendi, M.Pd












Di susun oleh:
·         Bayu Indrawan
·         Rifky Adi Prayodi



PROGRAM STUDi BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS WIRALODRA
INDRAMAYU
2014

KATA PENGANTAR


Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan berkah dan karunia-Nya kepada kami sehingga dapat terselesaikannya tugas mengkaji novel “Si jamin dan si johan” karya merari siregar. Adapun penulisan resensi ini untuk menyelesaikan salah satu tugas Apresiasi Prosa Fiksi. kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya bapak Rustam Effendi, M.Pd, yang menyuruh kami untuk menyusun makalah ini. kami menyadari sepenuhnya bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati kami mohon perkenaan para pembaca untuk memberikan saran dan kritik. Harapan saya makalah ini bermanfaat bagi pembaca khususnya keluarga besar FKIP Universitas Wiralodra Indramayu Program Study Bahasa dan Sastra Indonesia. Terima kasih.








Indranayu, 31 desember 2014

            Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                      i
DAFAR ISI                                                                                     ii

BAB I             PENDAHULUAN                                                  2
1.1    Latar Belakang                                                                     2
1.2    Identifikasi Masalah                                                            3
1.3    Rumusan masalah........................................................        3
1.4    tujuan makalah............................................................         3

BAB II            LANDASAN TEORI                                             4  
2.1    Kajian Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik                                 4  
2.2    Kajian Intertektual                                                               6  
2.3    Kajian Dekontruksi                                                              7

BAB III          PEMBAHASAN                                                     9
3.1    Sinopsis                                                                                  9  
3.2    Unsur Intrinsik                                                                      12
3.3    Unsur Ekstrinsik...........................................................        19
3.4    Kajian Intertekstual                                                              25
3.5    Kajian Dekontruksi                                                              26

BAB IV          PENUTUP                                                               27
4.1    Kesimpulan..................................................................         27
4.2    Saran                                                                                     28

DAFTAR PUSTAKA



MENGIDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR dan KAJIAN DALAM NOVEL

SI JAMIN dan SI JOHAN



Identitas Buku
Judul                          : Si Jamin dan Si Johan
Jenis Buku                 : Fiksi
Penulis                       : Siregar, Merari
Penerbit                    : Balai Pustaka, Jakarta
Tahun Terbit             : 1921 (cetakan pertama)
                                    2004 (cetakan kedua puluh satu)
Cetakan                     : 21
Jumlah Halaman       : 102 halaman


 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG

Sebagaimana kita ketahui sastra tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Semenjak kita masih balita, kita telah mengenal yang namanya sastra yaitu berupa dongeng-dongeng yang diceritakan oleh orang tua ataupun kakak-kakak kita. Seiring berjalannya waktu sastra pun semakin kita kenal dan tidak hanya berupa dongeng, melainkan bentuk sastra lainnya seperti puisi, cerpen, novel ataupun film yang bisa digolongkan pada jenis karya sastra puisi, prosa, dan drama.Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi, teks naratif atau wacana naratif. Istilahfiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal itudisebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan kepadakebenaran sejarah.
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalaminteraksinya dengan diri sendiri, serta interaksi dengan Tuhan. Fiksi merupakanhasil reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walaupun khayalan,fiksi merupakan perenungan. Selain itu fiksi merupakan karya imajinatif yangdilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni.Fiksi menawarkan model kehidupan yang ideal bagi pengarang dan meneguhkansosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan. Disamping itu, pengetahuan akan unsur-unsur yang membentuk karya sastra pun sangat diperlukan untuk memahami karya sastra secara menyeluruh. Tanpa pengetahuan akan unsur-unsur yang membangun karya sastra, pengetahuan kita akan dangkal dan hanya terkaan saja sifatnya, jika pengetahuan dengan cara demikian, maka maksud dan makna yang disampaikan pengarang kemungkinan tidak akan tertangkap oleh pembaca. Unsur-unsur karya sastra tersebut adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

Kita sebagai mahasiswa apalagi jurusan bahasa dan sastra Indonesia tentunya telah banyak karya sastra yang telah kita baca ataupun kita buat sendiri. Namun dalam membaca teks karya sastra, kita masih berpandangan satu arah dengan mengikuti pendapat atau simpulan yang telah dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan pemaknaan cerita dengan hanya membaca dan mentelaah teks secara umum saja. Kita pada saat ini telah berada pada masa postmodernisasi, pandangan-pandangan seperti diatas tidak diinginkan dalam sastra. Pada masa ini kita dituntut untuk lebih kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncullah metode-metode pembacaan teks seperti Dekonstruksi dan Intertekstual.

1.2       IDENTIFIKASI MASALAH
v              Sesuai dengan judul makalah ini “identifikasi pengkajian novel Si Jamin dan Si Johan
” terkait dengan pengetahuan kita terhadap pengapresiasian sastra tentang unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik serta kajian interekstual dan dekontruksi, maka masalahnya dapat di identifikasikan sebagai berikut :
ü  Bagaimana unsur intrinsik dan ekstrinsik novel tersebut?
ü  Bagaimana kajian inertekstual dan dekontruksi novel tersebut?


1.3       RUMUSAN MASALAH

            Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat di rumuskan sebagai berikut :

ü  Bagaimana apresiasi tentang unsur Intrinsik dan Ekstrinsik novel Jamin dan Si Johan?
ü  Bagaimana apresiasi tentang kajian intertekstual dan dekontruksi novel Jamin dan Si Johan?

1.4       TUJUAN MAKALAH
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini terdapat 2 tujuan, tujuan secara umum dan tujuan secara khusus, sebagai berikut :

Tujuan Umum :
a)      Mengetahui Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik ;
b)      Mengetahui Kajian Intertekstual;
c)      Mengetahui Kajian Dekontruksi.
Tujuan Khusus :
a)      Memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Prosa Fiksi;
b)      Untuk melatih dalam menyusun makalah;
c)      Untuk mempertanggung jawabkan tugas yang di berikan.

BAB II
LANDASAN TEORI
                                                                        

2.1       KAJIAN UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK

Cerita rekaan merupakan sebuah totalitas yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, cerita rekaan merupakan bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya secara erat. Unsur pembangun karya fiksi tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pembagian yang dimaksud adalah unsur intrinsik yang terdiri dari yang meliputi tema, alur, setting, penokohan, sudut pandang dan amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar tubuh karya sastra yang meliputi adat istiadat, agama, politik, situasi zaman, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Dalam pembahasan kali ini hanya dibicarakan unsur intrinsik karya fiksi.
Unsur intrinsik prosafiksi terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut  pandang,  amanat serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan gagasannya.
1.      Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta beberapa temabawahan.  Untuk mengetahui tema pokok pembaca harus banyak menelaah masalah apa yang banyak dibicarakan. Menurut Stantin dan Kenni, dalam Nurgiyantoro (2005:67) tema merupakan makna yang terkandung di dalam sebuah cerita sedangkan Brooks an Werren (dalam Tarigan. 1984; 125) menyatakan bahwa tema merupakan dasar atau maksud cerita. Jadi tema adalah sesuatu yang mendasari sebuah cerita.
2.      Alur adalah urutan peristiwa yang membentuk suatu cerita. Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat bergerak maju (alur maju), mundur (alur mundur), atau gabungan dari kedua alur tersebut (alur campuran).
3.      Tokoh dan Penokohan adalah Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku di dalam cerita. Berdasarkan peran  tokoh  dapat dibagi menjadi tokoh utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat adanya penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk  menampilkan  tokoh  cerita.
4.      Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar adalah seluruh keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita. Latar tempat terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal, serta tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat diketahui secara pasti.
5.      Sudut pandang merupakan posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa dalam cerita. Menurut Abrams (1981:142) dalam Nurgiyantoro (2005:248), sudut pandang (point of view) merupakan cara dan pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Jadi sudut pandang adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan mengisahkan ceritanya, yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator. Sudut pandang melalui tokoh cerita terdiri dari (a) sudut pandang  akuan, (b) sudut pandang diaan, (c) sudut pandang  campuran.
6.      Gaya Bahasa, Dalam menuangkan cerita menggunakan medium bahasa, pengarang bebas menentukan akan menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek, ataupun bahasa asing.
7.      Amanat, Melalui amanat pengarang dapat menyampaikan sesuatu, baik hal yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita.




Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya. Yang termasuk unsur ekstrinsik karya sastra antara lain sebagai berikut :
1.      Keadaan subjektivitas pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup.
2.      Psikologi pengarang ( yang mencakup proses kreatifnya )
3.      Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial.
4.      Pandangan hidup suatu bangsa dan berbagai karya seni yang lainnya



2.2       KAJIAN INTERTEKSTUAL

Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsic seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang  muncul lebih kemudian. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan  makna  secara  lebih  penuh  terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak  mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan  tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumya. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh, misalnya, sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi moderennya, di masyarakat telah  ada  berbagai  bentuk  puisi  lama,  seperti  pantun  dan  syair, di samping mereka juga berkenalan dengan puisi angkatan 80-an di negeri Belanda yang telah mentradisi. Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan kawan-kawan seangkatannya menulis puisi  dan  prosa di masyarakat juga  telah ada  puisi-puisi modern ala Pujangga baru, berbagai puisi drama, di samping tentu saja puisi-puisi lama. Demikian pula halnya dengan penulisan prosa, dan begitu seterusnya, terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya. Penulisan suatu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari unsur kesejarahannya, dan pemahaman terhadapnya pun haruslah mempertimbangkan unsur kesejarahan  itu. Makna keseluruhan  sebuah karya, biasanya,  secara penuh baru  dapat  digali  dan  diungkap  secara  tuntas  dalam  kaitannya  dengan  unsur kesejarahan tersebut.
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan  makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. masalah intertekstual lebih  dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana  kita memperoleh makna  sebuah  karya  secara  penuh  dalam  kontrasnya  dengan  karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi.

2.3       KAJIAN DEKONTRUKSI

Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Dekonstruksi termasuk pendekatan sastra yang relatif baru, baik di Eropa maupun di Amerika. Pelopornya ialah Jacques Derrida (ahli filsafat) dan Paul de Man (ahli sastra). Keduanya berangkat dari objek yang berbeda, yaitu filsafat dan sastra, tetapi mereka mempunyai kesimpulan yang hampir sama. Kesimpulannya, bahasa merupakan unsur yang mendasar dalam kehidupan manusia dan lebih substansial daripada bidang-bidang kehidupan lainnya. Sebuah teks dalam pandangan dekontruksi akan selalu menghadirkan banyak makna, sehingga teks tersebut bisa sangat komplek. Jaringan-jaringan mana dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang. Karenanya, deskontruksi membiarkan teks itu ambigo dan menantang segala kemungkinan (Endraswara 2008:170).
Dalam buku Nurgiyantoro (2002:59), Abrams berpendapat bahwa model pendekatan dekonstruksi ini dalam bidang kesastraan khususnya fiksi, dewasa ini terlihat banyak diminati orang sebagai salah satu model atau alternatif dalam kegiatan pengkajian kesastraan. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu.
Menurut Endraswara (2008:170), kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya, keluar dari struktur dan mencoba menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah yang dilakukan oleh kaum dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaruan pemahaman sastra. Dalam kaitan ini Roland Barthes (dalam Endaswara, 2008:170) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi sebagai berikut:
1.      Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama.Setiap unsur di pahami secara terpisah. Dengan demikian, tidak satu pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai peranan.
2.      Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur lainya dalam upaya untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antar semua unsur ( jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain ( jaringan X dan Y ).
Berdasarkan tahapan tersebut, memang tidak tertutup kemungkinansebuah teks sastra dipahami berdasarkan teks lain. Teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur, melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah kegiatan paradoksal. Maksudnya,pembaca boleh menciptatakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya mudah dikenal. Hal yang aneh, menyimpang, memgejutkan dalam teks dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia yang mudah dikenali (Endaswara, 2008:170).
Pembacaan karya sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana halnya yang lazim dilakukan melainkan justru untuk menemukan makna kontradiktifnya, makna ironisnya. Pendekatan dekonstruksi bermaksud untuk melacak unsur-unsur aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, makna kontradiktif, makna ironi, dalam karya sastra yang dibaca. Unsur atau bentuk-bentuk dalam karya itu dicari dan dipahami justru dalam arti kebalikannya. Unsur-unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian dipentingkan, diberi makna, peran, sehingga akan terlihat perannya dalam karya yang bersangkutan.







BAB III
PEMBAHASAN
3.1       SINOPSIS
Di tepi Jl. Mangga Besar yang dulunya bernama Prinselaan di Taman Safari terdapat sebuah rumah yang sedikit tua. Rumah itu tak terurus bagai tak berpenghuni. Di dalam nya tinggalah seorang wanita bernama Inem dan kedua orang anak bernama Jamin dan adiknya bernama Johan dan ayah kandungnya. Jamin dan Johan adalah sepasang kakak beradik, yang ibunya sudah meninggal dunia. Sehingga mereka tinggal bersama ayah kandungnya, dan ibu tirinya. Mereka dipekerjakan oleh ibu tirinya, Inem untuk  meminta-minta, dan memberikan hasil dari minta-minta itu untuk kesenangan ibu tirinya, yang merupakan seorang pecandu. Sore itu Inem ibu tiri Jamin dan Johan menunggui kedatangan Jamin,bukan karena kuatir tetapi untuk meminta uang dari Jamin meminta-minta. Karena sebagian uang meminta-mintanya ia belikan nasi untuk ia dan adiknya Inem pun marah hingga menendang si Jamin. Sebenarnya Inem menyiksa Jamin dan Johan merupakan hal yang biasa karena memang wanita itu sangat jahat. Untung Jamin dan Johan adalah anak yang sabar dan penurut. Jamin dan Johan selalu mengingat perkataan almarhum ibunya untuk selalu di jalan Allah dan saling menjaga sampai kapan pun. Mereka tidak pernah dendam pada ibu tirinya.. Bertes, ayah Jamin dan Johan juga suka mabuk hingga kedua anak itu dipukulnya karena tak sadar. Bertes berasal dari Saparua, Ambon. Ia meninggalkan kota kelahirannya untuk menjadi serdadu karena ia pikir, ia akan mendapat gaji besar. Waktu itu kedua orang tuanya tidak merestui tapi ia tidak memperdulikan hingga ia menjadi serdadu di Aceh. Saat Bertes sakit karena peperangan yang terjadi di Aceh, ia baru sadar bahwa ia banyak salah pada orang tuanya maka dari itu, ia bercita-cita kembali ke kampung halaman dan mencari pendamping hidup. Ternyata orang tuanya telah meninggal. Ia begitu menyesal dan sangat merasa berdosa pada orang tuanya. Setelah itu ia bertemu dengan Mina dan hidup dengan Mina di Prinselaan, Taman Sari. Awalnya rumah tangga mereka baik-baik saja apalagi ketika ia mempunyai 2 orang anak yaitu Jamin dan Johan. Mina adalah seorang istri yang baik,sabar dan bertanggung jawab, jauh berbeda dengan Inem yang kejam. Tetapi setelah 5 tahun pernikahannya, Bertes mulai terpengaruh teman-temannya menjadi pemabuk dan suka bertindak keras. Mina mulai sakit-sakitan hingga akhirnya ia meninggal dunia. Bertes ternyata juga sering menyiksa Mina bila sedang mabuk. Setelah Mina meninggal, kemudian menikah dengan Inem yang tidak berperangkai baik. Sungguh malang nasib Jamin dan Johan, sudah piatu sengsara pula hidupnya.
Ketika Inem selesai mencandu emosinya tidak dapat dikontrol lagi. Pagi-pagi ia mengusir Jamin untuk meminta-minta uang sampai mendapat lima puluh sen baru ia dapat pulang dan diancamnya bila tidak pulang akan membuang adiknya ke sungai padahal Jamin tidak ingin berpisah dari Johan karena ia sangat sayang pada Johan dan sebaliknya. Sungguh kejam memang ibu tirinya. Jaminpun segera pergi untuk mencari uang tetapi sungguh sial hari itu karena sampai malam tak dapat dikumpulkannya uang lima puluh sen. Dari Pasar Baru, Pasar Ikan sampai Pasar Senin ia lalui namun tak tercukupi juga hingga malam yang sangat dingin karena hujan. Kondisi itu membuatnya lemas karena tak satupun makanan yang masuk kecuali sedikit roti dari temannya serta sedikit air ditambah baju yang kotor dan compang-camping membuat ia tak kuat lagi untuk berjalan. Tak kuasa lagi ia berjalan, sampai akhirnya ia tidur di seberang warung obat milik Kong Sui. Pagi harinya, Kong Sui yang melihat Jamin yang terkapar tak berdaya membawanya ke rumahnya untuk dia beri makan. Sampai disana Jamin diberi makan, minum, uang dan baju untuk gantinya kemudian ia menceritakan semua pada Kong Sui dan Fi. Kong Sui dan Fi sangat kasihan pada Jamin setelah ia mendengar cerita dari Jamin. Jamin pun sangat berterima kasih pada mereka atas bantuan mereka. Karena merasa badannya sudah terasa baikan ia pun meminta izin untuk pulang. Di rumah Bertes pulang dari Café Pasar Senin dengan katakutan karena tadi ada pertengkaran disana hingga seseorang berlumur darah. Karena waktu itu ia sedang mabuk jadi ia lupa yang ia lakukan karena ia takut diangkap polisi ia sampai berpura-pura dan menyuruh istrina bila polisi datang untuk berbohong. Disaat itulah ia baru sadar bila hidupnya telah rusak. Ia lihat anaknya Johan kemudian ia memeluknya untuk minta maaf tetapi Jamin tidak ada. Sekarang Bertes ingin taubat dan ia telah tau keburukannya dan istrinya.
Beberapa saat kemudian dibawa Bertes oleh pihak polisi untuk diperiksa. Setelah itu Jamin pulang karena ia telah dapat uang yang diinginkan ibu tirinya. Tetapi saat didepan rumah ia mendengar bahwa ayahnya ditangkap polisi. Uang itu pun segera diberikan pada ibu tirinya dan memberikan makanan kepada adiknya dari rumah Kong Sui. Namun baju yang diberikan Kong Sui dan FI diminta ibunya saat meraba celananya terasa ada cincin didalamnya untunglah Jamin dapat merayu ibu tirinya namun tak disangka. akhirnya ketahuan juga. Baju itu akan dijual Inem agar Jamin dapat meminta-minta lagi dan ia juga akan mendapat uang dari hasil menjual baju itu. Cincin itu adalah cincin Nonya Fi karena Nyonya Fi lupa mengambil cincin itu saat dipakaikan pada Jamin. Ia pun merasa bersalah dan berjanji akan mengembalikannya pada Kong Sui da Fi. Suatu hari Jamin jalan-jalan di jalan Mangga Besar. Ia ingin sekali mengembalikan cincin itu. Tiba-tiba terdengar ada yang memanggilnya, yaitu Johan. Ternyata, Johan telah mendapatkan kembali cicin itu. Akan tetapi, ketika mereka akan sampai di rumah Kong Sui, Jamin tertabrak trem yang ada dibelakangnya karena ia berusaha menyelamatkan adiknya dan dirinya sendiri, tetapi takdir berkata lain, dirinya malah tidak selamat. Jamin dibawa orang-orang disekitar menuju rumah sakit Glodok. Johan tak mengerti apa yang terjadi kerena saat kakaknya tertabrak ia terpelanting ke samping jalan kemudian ia mengembalikan cincin itu dan menceritakan semua pada Kong Sui dan Fi. Mereka sangat sedih dan akhirnya Fi dan Johan pergi bersama ke rumah sakit. Jamin tak berdaya lagi seisi ruangan menangis karena iba melihat Jamin. Sekarang Johan bisa mengerti benar bagaimana arti persaudaraan yang sesungguhnya. Akhirnya, Jamin meninggal dunia dengan tenang. Ia dikuburkan di Mangga Dua. Johanpun sekarang tinggal bersama Kong Sui dan Fi yang menyayanginya dan dia pun sekarang bersekolah, layakanya anak-anak yang lain.


3.2       UNSUR INTRINSIK

·         Tema
Novel karya Merari Siregar ini menceritakan tentang dua bersaudara yaitu Si Jamin dan Si Johan dalam menjalani hidup yang kehidupannya begitu nista nestapa karena di asuh oleh ibu tirinya setelah sepeninggal ibu kandungnya. Kisah yang amat sedih tentang anak kecil berusia 9 tahun menjadi budak kecil yang mengemis lantaran perintah ibu tirinya yang jahat, “jamin, bawa kemari uang yang ada dikantongmu semuanya! Ayi lekas!...” sesekali ia tidak mendapatkan uang maka tendang sepak terjang di dapatkannya. (siregar, 2004 : 9).

·         Alur
Alur yang digunakan dalam novel si jamin dan si johan ini adalah alur maju (progresif), hal ini terlihat dari cerita yang berurutan dari mulai ayahnya yaitu Bertes yang menikahi ibu tirinya si Inem, perempuan jahat sekaligus pemadat setelah sepeninggal Mina ibu kandungnya yang bertanggung jawab. Sampai akhirnya jamin meninggal akibat tertabrak trem ketika dia hendak mengembalikan cincin milik Kong Sui yang meletekkan cincin dalam baju yang diberikan untuk Jamin. Dan Jamin mengatakan sesuatu pada saat penghembusan nafasa terakhirnya. Dia berkata bahwa Johan jangan pulang kerumah, karena Jamin tidak ingin adiknya di siksa oleh perempuan jahat yang tak lain ibu tirinya. Dan akhirnya Nyonya Fi menjalankan amanat terakhirnya, dan akhirnya Johan diasuh oleh Kong Sui dan Fi. (siregar, 2004 : 9-102)

·         Tokoh dan Perwatakan

Ø  Jamin    : Baik hati, penurut, penyabar, rajin, dan jujur “tetapi apa boleh buat, hatinya tak hendak mengejar pekerjaan serupa itu. Biar ia terpaksa tinggal diluar semalam-malaman sekalipun, berhujan dan berangin sampai menggigil dan meskipun hebat ancaman ibu tirinya, si jamin tidak mau meminta sedekah dengan jalan berbohong dan curang” (siregar, 2004 : 51).
Ø  Johan     : Polos, fikirannya belum terbuka. “si johan karena masih kecil belum dapat memikirkan nasibnya jauh-jauh. Jika perutnya sudah kenyang dan badannya tak kedinginan, senanglah hatinya dan ia pun tidur nyenyak” (siregar, 2004 : 14).
Ø  Bertes    : Keras kepala, berani, mudah terbawa pergaulan. “selama bertes bekerja dikutaraja ia amat suka berkawan dengan beberapa orang yang kurang baik tabiatnya dan suka mabuk. Oleh karena pergaulan itu, perlahan-perlahan bertes terbawa kedalam jurang yang dalam” (siregar, 2004 : 27).
Ø  Inem       : Jahat, berani, seorang wanita yang pecandu obat terlarang. “dengan tergopoh-gopoh disangkutkanhya kain selendangnya yang basah kuyup itu, lalu berbaring di tempat tidur. Demikianlan caranya menghisap candu” (siregar, 2004 :33).

Ø  Mina       : Baik hati,ramah,bertanggung jawab. “mina pun tidak melupakan kewajiban, mengurus rumah tangga, memelihara anak-anak dan menghibur suaminya”.(siregar,2004:28).

Ø  Fi            : Baik hati. “tanggalkan pakaianya yang basah itu. Saya hendak pergi mengambil pakaian yang kering. Baju anak kita, masih ada saya simpan. Barangkali baik sebagai pengganti kain baju anak yang sudah compang camping itu”.
(siregar, 2004 : 64).

Ø  Kong Sui    : Baik hati, mudah dihasut. “ia bimbang mendengarkan cerita yang baru di dengarnya itu. Sekalian perkataan orang itu di benarkannya, tetapi cerita si Jamin yang tadi pagi tentu tidak bohong, demikian pikirannya dalam hati”
(siregar, 2004 : 67).

Ø  Minah  : seorang pembantu.“babu minah yang kebetulan datang pada waktu itu, disuruhnya menghidupkan api” (siregar, 2004 : 63).

·         Latar
·         Tempat
Ø  Rumah             : “di Taman sari, ada sebuah rumah setengah tua, berdinding papan, beratap genting. Bila diperhatikan dinding rumah itu, catnya tidak tentu wananya lagi dan halamannya yang sangat kotor” (siregar, 2004 : 9).... “keadaan didalam rumah itu sangat sederhana” (siregar, 2004 : 10).
Ø  Pasar Senen     :”pada sisi jalan trem di Pasar Senen ada sebuah rumah. Di depannya tergantung sebilah papan yang bertulisan ‘rumah obat’.” (siregar, 2004 : 57)
Ø  Rumah Sakit   :”nyonya fi tak tahu bau obat apa yang berbau itu, tetapi kepada pegawai-pegawai rumah sakit bau itu adalah suatu tanda, bahwa si sakit dalam penderitaan hebat” (siregar, 2004 : 95)
Ø  kota jakarta     :”kota jakarta masih sepi. lentera-lentera di tepi jalan besar masih menyala, sekadar menggantikn sinar matahari, yang belum bangun dari peraduannya.” (siregar, 2004 : 57)
Ø  Kutaraja          :”setelah tiga tahun ia ia dalam dinas belajar Gombong, ia dipindahkan ke Kutaraja. Pada waktu itu tanah aceh belum tunduk semua pada kompeni” (siregar, 2004 : 18).
Ø  Pasar Baru       : “sampai di Pasar baru ia belum berjumpa orang seorang pun jua, tempat ia meminta sedekah” (siregar, 2004 : 38).
Ø  Jalan Mangga Besar    : “dapatlah ia hidup sederhana dengan istrinya dan kedua anaknyan Jamin dan Johan, di jalan mangga besar itu.” (siregar, 2004 : 28).

·         Waktu
Ø  “pukul 12 tengah malam” (siregar, 2004 : 20)
Ø  “29 hari bulan Mei tahun 1986” (siregar, 2004 : 20)
Ø  “Hari sudah siang. Dengan langkah panjang-panjang ia berjalan.” (siregar, 2004 : 38).
Ø  “matahari makin lama makin jauh bersembunyi ke sebelah barat. (bertanda senja)”. (siregar, 2004 : 44).
·         Suasana
Ø  Tegar   : “meskipun Jamin seorang budak kecil, tetapi ia telah mengenal Tuhan berkat ajaran ibunya dahulu selagi hidup.” (siregar, 2004 : 39)
Ø  Kejam  : “setiap hari disuruh mengemis dan harus memperoleh uang yang maksimal menurut perempuan itu, dan sesekali ia tidak mendapat uang banyak maka ia akan dipukul dan ditendang sampai ia jatuh terguling-guling dilantai. Dan setelah demikian anak itu dibiarkan menangis disudut kamar.” (siregar, 2004 : 10)
Ø  Sedih   : “amat sakit dan sedih hati si Jamin mendengar perkataan adiknya yang mengaku telah dipukul oleh ibu tirinya saat ia minta makan. Tidak dapat ia menahan air mata. Jauh lebih sakit dari kena pukulan perempuan itu.”
Ø  Mengharukan  : “adikku johan... jangan adikku susah ... kita bercerai ... nanti di belakang hari ... kita bertemu lagi. Selamat ... selamatlah adikku, yang tercinta. Sehabis bicara itu si jamin menarik tangan adiknya. Berlinang-linanglah air mata dokter serta pegawainya yang melihat kejadian itu. Nyonya fi tak hent-hentinya lagi menyapu air mata dengan sapu tangan.”...”sampaikan salamku kepada ayah,. Kata si jamin, dan ia mencium si johan sekali lagi. Kemudian ia melihat keatas seraya berkata, Allah Yang Mahakuasa! Hamba serahkan badan dan jiwa hamba kepadaMu. Peliharakanlah hambaMu dengan rahmatMu....” (siregar, 2004 : 98).



·         Sudut Pandang Pengarang
Di sini pengarang sebagai orang ketiga
Pengarang dalam menceritakan para pelaku meggunakan sudut pandang pengarang sebagai orang ketiga serba tahu (sudut pandang diaan). Pengarang menyebut para pelaku dengan menggunakan kata ganti orang ketiga. Pengarang tidak menjadi pelaku dalam cerita itu. Jadi pengarang berada di luar cerita atau sebagai pengamat yang meceritakan semua yang dilakukan para tokoh sampai apa yang ada dalam hati maupun yang dipikirkan para tokoh tersebut.  


·         Gaya Bahasa
Pengarang menggunakan bahasa yang tidak baku supaya masyarakat umum, khususnya para remaja mudah mengerti dari isi novel ini. Dan mudah untuk di pahami.
Terdapat bahasa jakarta atau betawi pada dialog ini, “minta bakonya, mat.... lu engga malu, jaka? Minta-minta aje.” Jawab si Amat “masak laki-laki segede elu masih minta-minta tembako aje”.
“ah, elu marah-marah aje, baru kali ini gue minta rokok ude ngomel,” sahut si Jaka....


Majas atau Gaya Bahasa yang Terdapat Dalam Novel Si Jamin dan Si Johan.
Ø  Majas Personifikasi     : “Suatu hari ketika matahari hendak masuk keperaduannya, hawa panas nertukar menjadi hawa sejuk, dan angin lemah lembut bertiup sepoi-sepoi.” (siregar, 2004 : 9).
Ø  Majas Personifikasi     : “pohon-pohon kenari yang besar-besar dan tinggi kanan kiri jalan menggerakkan ranting dan daun-daunnya.” (siregar, 2004 : 9).
Ø  Majas Hiperbola          : “Dan tiap-tiap kali ia membentak, anak itu dipukul dan ditendangnya, sehingga jatuh terguling-terguling ke lantai.” (siregar, 2004 : 10).
Ø  Majas Repetisi : “sekali lagi di dengarkan baik-baik, benarkah perempuan jahat dan bengis itu telah keluar?” (siregar, 2004 : 11).
Ø  Majas  Hiperbola         : “hancur luluh hatinya, memikirkan nasibnya dua beradik.” (siregar, 2004 : 12).
Ø   “adiknya, si Johan, lebih elok rupanya, matanya terang jernih dan mukanya manis.” (siregar, 2004 : 13).
Ø  Majas Hiperbola          : “bunyi senapan dan meriam gemuruh dari benteng, bagai halilintar membelah bumi bunyinya.” (siregar, 2004 : 20).
Ø  Majas Hiperbola          : “luka di dada itu yang parah, kena tikam rencong aceh yang berbisa. ” (siregar, 2004 : 22).
Ø  Majas Personifikasi     : “awan kedukaan menutup paras si mina.” (siregar, 2004 : 28).
Ø  Majas Hiperbola          : Bukannya bertes bertambah baik, melainkan bertambah dalam juga ia tenggelam kedalam lembah kejahatan. (siregar, 2004 : 29).
Ø  Majas Metafora           : “segala pencariannya seperti hujan jatuh di pasir saja, ia tak ada bekas-bekasnya.” (siregar, 2004 : 31).
Ø  Majas Personifikasi     : cahaya bintang-bintang yang bertaburan sudah pudar.” (siregar, 2004 : 37).
Ø  Majas Personnifikasi   : “burung-burung meninggalkan sarangnya menyanyi besahut-sahutan di pohon kenari yang tinggi-tingi dan rimbun.” (siregar, 2004 : 37).
Ø  Majas Personifikasi     : “Suaranya merdu dan riang, seolah-olah mengucapkan terimakasih kepada Tuhan, yang menjadikan alam ini dan memberi rezeki kepada makhlukNya.” (siregar, 2004 : 37).
Ø  Majas Metafora           : “tambahan pula ia panas tiada terderita lagi, seperti membakar tekuk dan kepalanya.” (siregar, 2004 : 39).
Ø  Majas  Metafora          : “burung-burung yang yang mencari mangsa terbang pulang mencari tempat bermalam.perahu dan sampan nelayan yang datang dari laut yang berlayar menuju daratan, kelihatan jauh berserak di muka air , seperti burung bersayap putih tampaknya.” (siregar, 2004 : 44).
Ø  Majas Personifikasi     : Awan hitam diarak dengan angin yang sangat dingin.” (siregar, 2004 : 54).
Ø  Majas Hiperbola          : “sekalipun terpaksa ia tak pulang semalam-malaman itu, tidur di tanah beratapkan langit.” (siregar, 2004 : 55).
Ø  Majas Alegori  : “ia menangis tersedu-sedu dan air matanya mengalir melalui pipinya yang pucat dan dingin itu, laksana titik air yang jatuh dari cucuran atap dengan tidak berkeputusan.”
(siregar, 2004 : 55).
Ø  Majas Hiperbola          :“siapa tahu! Entah ia disiksa oleh si inem, iblis betina itu.” (siregar, 2004 : 56).
Ø  Majas Hiperbola          : “langit, yang malam itu ditutupi awan hitam, menjdi biru dan jernih, menunjukkan kegirangannya.”
Ø  Majas Repetisi             : “pandangannya berubah-rubah.” (siregar, 2004 : 56).
Ø  Majas Personifiskasi    : pohon-pohon dan kayu-kayuan yang menundukan kepalanya, oleh karena dibakar sinar yang panas.” (siregar, 2004 : 58).
Ø  Majas Hiperbola          : “kuncup-kuncup bunga terbuka seolah-olah membukakan diri akan mengenyam udara yang sedap itu.” (siregar, 2004 : 58).
Ø  Majas Metafora           : “umur saya sekarang ibarat matahari yang sudah miring ke barat.” (siregar, 2004 : 58).
Ø  Majas Hiperbola          : “segala perkataan anak itu sebagai batu yang berat menimpa dada dan menyesakkan jantungnya.” (siregar, 2004 : 62).
Ø  Majas Hiperbola          : “berjalan menuju Taman Sari dengan langkah yang berat dan tidak berketentuan sebagai kerbau nyang diseret ke tempat pembantaian.” (siregar, 2004 : 68).
Ø  Majas Hiperbola          : “itulah madat, raja yang menghukum diri si inem sebagai budaknya.” (siregar, 2004 : 70).
Ø  Majas Fabel     : “sebab minuman keras itu mengubah sifatnya lebih dari binatang buas.” (siregar, 2004 : 70).
Ø  Majas Hiperbola          : “setan itu memimpin dia ke lembah dan jurang yang berduri, ke dalam neraka dunia.” (siregar, 2004 : 73).
Ø  Majas Hiperbola          : “perempuan ini yang mengaramkan aku di lautan dalam.” (siregar, 2004 : 77).
Ø  Majas Hiperbola          : “pikiran itu yang menghancurkan hatinya, sebagai diiris-iris dengan sembilu.” (siregar, 2004 : 78).
Ø  Majas Hiperbola          : matanya bercahaya-cahaya, memikirkan kesenangan yang diperolehnya.” (siregar, 2004 : 83).

·         Amanat
Persaudaraan yang saling mengasihi adalah hal yang indah dan perlu dijaga. Hal inilah yang patut kita tiru. Jalani hidup sesuai dengan yang Allah perintahkan dan apabila kita melakukan salah sebaiknya segera bertaubat karena pertaubatan yang tulus akan diterima oleh Allah SWT. Bersyukurlah kita yang tidur dalam kasur yang hangat dan memakai baju bagus dan baru, dan bersyukurlah kita dengan apa yang kita dapatkan, karena masih banyak orang yang kurang beruntung dari kita, berterimakasih kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya.
 Kita sebagai pembaca pasti sudah mengerti dengan maksud cerita tersebut. misalnya kita harus tetap mmengingat Tuhan Yang Mahakuasa dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan susah hati sekalipun. “setiap malam jika ia hendak tidur mendoalah ia dahulu, mudah-mudahan Allah melidungi dia dua beradik.” (siregar, 2004 : 40).
Bertaubatlah sebelum terlambat karena dengan bertaubat niscaya Tuhan nakan menunjukan jalan yang benar. Dalam cerita ini si bertes yang pemabuk itu merasa menyesal ketika ia tahu bahwa dirinya telah jauh terlampau kedalam lembah nista. Dan ia menyadari bahwa kesalahannya itu yang menyebabkan istrinya meninggal dan menyebabkan kedua anaknya itu menjadi menderita. Maka ia memutuskan untuk bertaubat. (siregar, 2004 : 76)



3.2       UNSUR EKSTRINSIK

·         Biografi pengarang
Merari Siregar lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara, 13 Juli 1896. Masa kecil dilalui penulis berdarah Batak ini di kampung halamannya. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwanya amat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Saat itu, ia kerap menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, salah satunya kawin paksa.

Setelah beranjak dewasa dan tumbuh menjadi orang terpelajar, Sastrawan
Merari Siregar melihat keadaan sebagian masyarakat yang mempunyai pola berpikir yang sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman. Oleh sebab itu, ia mulai tergerak untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang dinilainya masih kolot, terutama penduduk Sipirok.

Perubahan itu dilakukannya lewat goresan pena. Azab dan Sengsara menjadi karya tulisnya yang paling tersohor. Prosa berbentuk roman itu muncul saat pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya melaksanakan politik etis yang ditandai dengan berdirinya Conunissie Voor Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat) di tahun 1908. Komisi itu bertugas menyelenggarakan dan menyebar bacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan ash kepada rakyat dan para pelajar sekolah bumi putera. Yang dimaksud dengan karangan ash adalah cerita-cerita rakyat yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun.

Seiring berjalannya waktu, Sastrawan prosa Indonesia mulai berkembang menjadi lebih modern karena semakin banyaknya pengarang yang 'bergaul' dengan karya sastra barat, terutama Belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Perkembangan itu semakin tampak saat Commissie Voor de VoLfcslectuur berubah nama menjadi Balai Pustaka. Perubahan itu juga disertai penambahan tugas, yaitu melatih para pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru.

Salah satunya dengan menampilkan kemandirian pada tokoh-tokoh cerita. Yang dimaksud dengan istilah kemandirian di sini adalah, para tokoh itu dapat menentukan nasibnya sendiri dan tidak tergantung pada lingkungan dan ikatan masyarakat. Kemandirian itulah yang tercermin dalam roman karya Sastrawan. Merari Siregar, Azab dan Sengsara, dengan tokoh utamanya seorang gadis Batak bernama Mariamin. Kesadaran Mariamin terlihat ketika ia mengakhiri penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan tokoh Mariamin ini dimaksudkan Merari untuk menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat kawin paksa. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.

Dalam roman ini, Merari menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Seperti penuturannya berikut ini yang dikutip dari situs Laman Badan Bahasa, "Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca. Adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur, artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang."

Secara keseluruhan, Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. Selain diwarnai dengan menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, roman ini juga menonjolkan penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.

Selain sebagai pengarang, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang paling tersohor berjudul Si Jamin dan Si Johan dengan mengadaptasi "Jan Smees" buah karya Justus van Maurik. Judul "Jan Smees" ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk 'Dan Kalangan Rakyat' dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en 'Novel Amsterdam' yang terbit tahun 1879.

Ide cerita Si Jamin dan Si Johan ialah ajakan untuk menjauhi minuman keras dan candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan kemerosotan bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha pemerintah Hindia Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum Belanda berusaha memberantas pemabukan, mereka masih mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu, misalnya di Glodok, yang merupakan tempat terbuka untuk menjual candu.

Ketika menyadur Si Jamin dan Si Johan, Merari sempat menemui hambatan saat memindahkan suasana Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ukuran kemiskinan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan di Indonesia, begitu pula dengan kehidupan spiritualnya. Orang miskin di Eropa melarikan diri dari penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang yang meminum minuman keras adalah orang kaya. Pria Eropa pergi ke gereja bersama anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi ke masjid tanpa istri dan anak Lihat Daftar Tokoh Perempuan
perempuannya.

Selain Azab dan Sengsara serta Si Jamin dan Si Johan, masih ada beberapa karya Merari lainnya meski tidak semasyur dua karya tadi, karya-karya itu adalah Binasa Karena Gadis Priangan, Cerita Tentang Busuk dan Wanginya Kota Aktor, Seniman
Betawi, serta roman Cinta dan Hawa Nafsu.

Selain dikenal sebagai sastrawan, dalam kesehariannya ia bekerja sebagai guru. Profesinya sebagai guru sedikit banyak berpengaruh pada gaya bercerita dan karya sastranya, baik karya asli maupun saduran. Penggunaan bahasa yang lancar dan rapi, ia tonjolkan dalam setiap karyanya untuk menarik pembaca. Di samping bahasa yang enak dibaca, Merari juga memberi nasihat, mengecam ketidakadilan, serta memberi pujian pada tindakan yang tidak menyalahi aturan ataupun norma yang berlaku dalam masyarakat.

Merari merintis karirnya sebagai pendidik dengan terlebih dahulu bersekolah di sekolah guru yang dulu dikenal dengan istilah Kweekschool kemudian dilanjutkan ke Oosr en West, 'Timur dan Barat' yang berlokasi di Gunung Sahari, Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1923, pendidikan keguruannya dilanjutkan di sekolah swasta yang didirikan oleh sebuah organisasi bernama Vereeniging Tot Van Oost En West.

Setelah menyelesaikan studinya, Merari mengawali kiprahnya di dunia pendidikan dengan bekerja sebagai guru bantu di Medan. Dari ibukota provinsi Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda Sumatera Utara itu, ia kemudian pindah bekerja di Jakarta, tepatnya di Rumah Sakit CBZ atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rumah Sakit Mendirikan Indische Partij (1912). Cipto Mangunkusumo. Terakhir, ia bekerja di Opium end Zouregie di daerah Kalianget, Madura, hingga akhir hayatnya.
Sastrawan
Merari Siregar meninggal pada 23 April 1941. Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.

·         Psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya)

·         Nilai agama
Ø  Hidup yang berat harus dijalani dengan ikhlas, seperti Jamin  yang selalu ikhlas dengan       hidupnya walaupun sedang sulit.”amat sakit dan sedih hatinya mendengar cerita adiknya .    tidak dapat menahan air matanya hancur luluh hatinya  memikirkan nasib dua beradik”. (siregar, 2004 : 12).
Ø  sabar, timbul pikiran dan berkata ia dalam hati, “kata orang, allah amat pengasih dan penyayang kepada segala makhluk di dunia .baiklah kemalangan ini kuserahkan saja kepadanya” (siregar, 2004 : 12).
Ø  Kita tidak boleh egois memikirkan nasib sendiri, tapi harus memikirkan nasib orang di sekitar kita, terutama keluarga, seperti Jamin yang selalu menjaga adiknya.
Ø  Kita harus berbuat sesuatu sebelum akhirnya terjadi penyesalan di kemudian hari, seperti   Bertes yang menyesal setelah anaknya meninggal.
Ø  ingat kepada allah, “jamin, kalau emak sudah tidak ada  jangan engkau lupa kedapa allah, baik-baiklah perangaimu..kelak di hari kemudian kita bertemu di negeri akhirat”.
Ø  tobat, “Bertes pergi ke rumah Kong Sui,meminta maaf pada si Johan dan berterima kasih pada Kong Sui dan istrinya”. (siregar, 2004 : 102).
·         Nilai moral
Ø  Kekasaran yang terlihat dalam novel ini, dan tiap-tiap kali anak itu membentak ,anak itu di pukuli dan di tendangnya sehingga terjatuh dan terguling-guling ke lantai. “ sudah kubilang lebih dahulu engkau bawa kerumah semua uang yang kau peroleh ingat, ya! Jangan lupa-lupa lagi!mengerti,,???” (siregar, 2004 : 10).
Ø  ketika anak itu menangis ia membeliakkan mata, sambil berkata “tutup mulut!... kalau tidak ..” ia memutuskan perkataanya sambil mengacungkan tongkat pemukul.( siregar, 2004 : 10).
Ø  jujur, Cincin itu adalah cincin Nonya Fi karena Nyonya Fi lupa mengambil cincin itu saat dipakaikan pada Jamin. Ia pun merasa bersalah dan berjanji akan mengembalikannya pada Kong Sui da Fi. Suatu hari Jamin jalan-jalan di jalan Mangga Besar. Ia ingin sekali mengembalikan cincin itu. (siregar, 2004 : 83).
Ø  Persaudaraan yang saling mengasihi adalah hal yang indah dan perlu dijaga. “ sayangilah adik mu, jangan sekali-sekali engkau tinggalkan dia” (siregar, 2004 : 44).
Ø  Berkelakuan buruk “ tempat penjualan candu” dengan tidak ragu-ragu perempuan itu berkata kepada seseorang yang duduk di tempat itu , “ kasih candu empat hun!”orang itu terkejut, karena tak menyangka masih ada orang hendak membeli candu. (siregar, 2004 : 15).
Ø  Pemaksaan,”esok paginya, saat jamin kembali disuruh meminta-minta menelusuri lorong-lorong jalan pagi hingga malam hari” (siregar, 2004 : 36).
·         Nilai social budaya
Dalam novel ini banyak sekali nila social budaya terlihat dari kutipan berikut ini
Ø  Kesederhanaan yang terlihat,“sebuah rumah setengah tua berdindingkan papan beratap genting bila di perhatikan rumah itu, catnya tidak tentu warnanya lagi dan halamnya yang sangat kotor, menandakan bahwa yang mendiaminya orang miskin”. (siregar, 2004 : 9).
Ø  Keadaan di rumah itu sangat sederhana, “di tengah-tengah kamar depan terletak sebuah peti besar  untuk mengganti meja belajar, dekat jendela pada dinding sebelah depan ada sebuah meja yang kakinya tinggal 3. Meja itu  dirapatkan ke dinding supaya jangan jatuh, memanjang dinding yang sebelah lagi, terletak dua buah tempat tidur kayu, di alasi tikar yang sudah koyak-koyak”. (siregar, 2004 : 10).
Ø  “Di dekat dinding sebelah belakang terletak ember tiga empat buah berisi air kotor bekas pencuci piring di sebelah ada lagi sebuah bantal amat kotor . sebuah sapu lidi dan sapu ijuk tersandar di sisi tempat tidur itu”. (siregar, 2004 : 11).
Ø  “Nyamuk pun banyak, karena itu orang hampir tak dapat tidur kalau tak pakai kelambu, pendeknya kelambu-kelambu itu perlu untuk tiap-tiap rumah”. (siregar, 2004 : 11).

·         Nilai pendidikan
Ø  Sekolah “ setelah kakaknya meninggal si johan pun tinggal bersama kong fu karena mereka tak punya anak, lalu mereka menyekolahkan si johan, dan kehidupan si johan berubah teratur”. (siregar, 2004 : 102).
      

·         Nilai politik
Dalam novel ini terdapat nilai pendidikan yang lebih di utamakan karena pesan yang di sampaikan terlihat jelas dengan adanya kutipan yang saya ambil berikut ini:
Ø  Pembunuhan ” ketika bapak si jamin dan bapak si johan membunuh orang sedang mabuk, dan bapak anak itu di cari-cari polisi dan masuk penjara” (siregar, 2004 : 78).
Ø  Saat Bertes sakit karena peperangan di Aceh ia baru sadar bahwa ia banyak salah pada orang tuanya maka ia bercita-cita kembali kekampung halaman dan mencari pendamping hidup. (siregar, 2004 : 26).












3.3       KAJIAN INTERTEKSTUAL

Selain Azab dan Sengsara, yg merupakan salah satu tonggak kesusastraan indonesia, ia juga menulis cerita Si Jamin dan Si Johan. Judul Si Jamin dan Si Johan yang diambil dan gubahan Justus van Maurik yang berjudul “Jan Smees’. Judul “Jan Smees” ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun 1879. demikian dinyatakan oleh Teeuw walaupun sebelumnya ía menyatakan bahwa cerita “Jan Smees” ini berasal dan cerita Oliver West gubahan Char les Dickens. Pengamat lain, seperti Armijn Pane pun menyatakan bahwa karya Si Jamin dan Si Johan berasal dari karya sastra Belanda tersebut.




3.4      KAJIAN DEKONTRUKSI

Ada satu kajian sastra yang dianggap pembalikan dari kajian-kajian sebelumnya, terutama sekali kajian struktural, yaitu dekonstruksi. Kajian ini meruntuhkan filosofi yang melandasinya, atau beroposisi secara hierarkis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam suatu teks yang memproduksi dasar argumen yang merupakan konsep utama. Dekonstruksi terhadap suatu teks kesastraan, menolak makna umum yang diasumsikan ada dan melandasi karya yang bersangkutan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah karya.
Contoh asumsi ini pada novel Si jamin dan Si Johan. Sudah menjadi rahasia umum pada sebagai apresian novel tersebut bahwa Si Jamin dianggap sebagai tokoh yang disayang dan dikasihani karena kehidupannya yang amat menyedihkan karena ia di jadikan budak kecil oleh ibu tirinya yang kejam itu. Sementara itu, Bertes, pemabuk, adalah tokoh yang tidak dikasihani dan disayang pembaca karena sebagai orang tua yang tidak bertanggung jawab, acuh tak acuh ia melihat kedua anaknya yang meringkik kesedihan. Begitu pula dengan Inem, yaitu tokoh yang di benci oleh  pembaca dalam Novel, karena sosok ini dengan kejinya menyuruh anak yang masih balita untuk meminta-minta.
Akan tetapi, kajian dekonstruksi melihat dengan kacamata lain. Bertes layak mendapat asumsi umum, yakni disayang atau dikasihani oleh pembaca, karena sebagai orang tua yang dahulu ia lupa dengan amanat istrinya sewaktu istrinya belum meninggal, yaitu menjaga kedua anaknya, Jamin dan Johan. kini berubah baik saat ia telah menyadari bahwa ia telah menyesal. Dan karena Inem pula kehidupan anak-anaknya menjadi hancur, maka dari itu Bertes membenci Inem dan mulai menyayangi kedua anaknya. Namun tak disangka Bertes di tahan akibat kasus pembunuhan. Dan Jamin meninggal ketika Bertes belum sempat  mengucapkan maaf kepada Jamin. Ia memutuskan untuk berubah.
“Marah, takut, sedih dan malu menyiksa jiwanya, sehingga si bertes menjadi lemah lesu. Marah melihat kelakuan istrinya. Takut memikirkan akibat perkelahian tadi malam itu. Menyesal mengenangkan perbuatannya selama ini. Istrinya yang dulu meninggal dunia, karena dia juga. Sedih hatinya mengenangkan azab yang di derita anak-anaknya. Dan malu memikirkan segala kesalahannya. Si bertes sadar, bahwa dari dia sendirilah asal segala bencana yang telah menimpa rumah tangganya.”... “kini bertukarlah pikirannya yang buruk, yang selama ini bersarang didalam dadanya, dengan pikiran yang baik.” (siregar, 2004 : 76).
BAB IV
PENUTUP

4.1       KESIMPULAN
Persaudaraan yang saling mengasihi adalah hal yang indah dan perlu dijaga. Hal inilah yang patut kita tiru. Dan apabila kita melakukan salah sebaiknya segera bertaubat karena pertaubatan yang tulus akan diterima oleh Allah. Cerita ini mengisahkan dua orang anak manusia yang hidupnya sangat menyedihkan setelah di tinggal oleh ibunya yang telah meninggal dunia, dengan kondisi yang terpaksa dia menjalani jehidupannya sekarang ini. Ayah yang sepertinya tak punya tanggung jawab hanya bisa mabuk-mabukan saja, dan ibu tiri yang sangat kasar terhadap mereka menambah kesengsaraan yang teramat mendalam, di kesunyian malam hanya terdengar suara angin bertiup dan suara rintihan dari bocah kecil taak berdosa. Sepanjang hari kerjaannya hanya meminta belas kasihan dari orang sepanjang jalan terotoar.  Buku ini menceritakan tentang 2 orang kakak beradik yang bernama Si Jamin dan Si Johan. Mereka adalah anak piatu yang terdampar dalam kehidupan yang sengsara, penuh cobaan, dan liku-liku masalah hidup. Penderitaan mereka dilengkapi dengan seorang Ibu tiri yang kejam. Sedangkan Bapaknya adalah seorang pemabuk yang pada akhirnya akan menyadari segala kesalahannya. Kisah ini berakhir dengan  kisah tragis yakni dengan matinya si Jamin sang kakak oleh karena sebuah  kecelakaan, sementara Johan sendiri akhirnya dapat hidup dengan selamat setelah mendapat pertolongan dan bantuan dari seseorang
Buku ini sangat baik dibaca karena mempunyai pesan-pesan yang harus direnungkan dan dilakukan. Tidak perlu panjang lebar terhadap buku yang cocok bagi khalayak umum ini, karena buku ini jelas berguna bagi kita semua. Si Jamin dan Si Johan cukup kompleks dan memerlukan penegasan pada bagian-bagian tertentu.
Cerita Si Jamin dan Si Johan ini bisa dibaca oleh semua kalangan umur karena mengandung nasihat-nasihat yang berguna dalam kehidupan. Terutama bagi para remaja sekarang ini yang cenderung mengikuti gaya hidup konsumtif, buku ini sangat cocok karena akan penderitaan dan kesulitan-kesulitan orang-orang yang kekurangan. Demikianlah makalah ini saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi orang yang membutuhkan.


4.2              SARAN

Kita sebagai mahasiswa apalagi jurusan bahasa dan sastra Indonesia tentunya telah banyak karya sastra yang telah kita baca ataupun kita buat sendiri. Namun dalam membaca teks karya sastra, kita masih berpandangan satu arah dengan mengikuti pendapat atau simpulan yang telah dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan pemaknaan cerita dengan hanya membaca dan mentelaah teks secara umum saja. Kita pada saat ini telah berada pada masa postmodernisasi, pandangan-pandangan seperti diatas tidak diinginkan dalam sastra. Pada masa ini kita dituntut untuk lebih kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncullah metode-metode pembacaan teks seperti Dekonstruksi dan Intertekstual tidak hanya memahami karya sastra melalui pengkajian unsur-unsur yang intrinsik dan ekstrinsik saja.


















Daftar Pustaka

Siregar, merari. (1896-1940) Si Jamin dan Si Johan. Jakarta: Balai Pustaka.


Aminuddin. 2013. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru        Algensindo.

No comments:

Post a Comment